Titik tolak penyelesaiannya adalah kembali kepada Kesefahaman Helsinki dan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Pemerintahan Aceh. Pasalnya, soal bendera Aceh ini awalnya dirundingkan di Helsinki dan kemudian dituangkan dalam Nota Kesefahaman antara Pemerintah RI dan GAM itu.
Isi Nota Kesefahaman tentang bendera itu kemudian dituangkan dalam RUU Pemerintahan Aceh. Menurut Yusril, dirinya dan Menteri Dalam Negeri (saat itu) Mohammad Ma’ruf mewakili Presiden membahas RUU itu dengan DPR.
“Aceh memang boleh menggunakan lambang dan bendera yang mencerminkan budaya Aceh,” ujar Yusril dalam pernyataannya, Jumat (05/04/13).
Pengaturan tentang bendera dan lambang Aceh dituangkan dalam Pasal 246 UU No 11 Th 2005 tentang Pemerintahan Aceh. Esensinya, lambang dan bendera itu mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh, serta bukanlah simbol kedaulatan.
Diungkapkan Yusril, apa saja keistimewaan dan kekhususan Aceh telah dirumuskan dalam kosiderans undang-undang itu. Ia meminta semua pihak mampu menangkap makna penggunaan lambang dan bendera itu.
“(Dengan begitu) Saya yakin permasalahan yang timbul sekarang ini, dapat diselesaikan dengan baik,” tandas Yusril.
Diberitakan, keputusan Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam (qanun) terkait bendera rakyat Aceh yang sama dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM), akhirnya direaksi keras oleh pemerintah.
Presiden melalui Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, memberikan batas waktu 15 hari kepada Gubernur Aceh untuk mengevaluasi kebijakan daerah tersebut.Reaksi keras ini dilontarkan setelah polemik pro kontra seputar qanun itu meramaikan media dalam dua pekan terakhir.
Bahkan Kementerian Dalam Negeri menyatakan akan mengklarifikasi berlakunya Qanun (perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh itu.
“Namanya perda atau qanun itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi ataupun kepentingan umum,” ujar Staf ahli Kemendagri Reydonizar Moenek di gedung MK, Jakarta, Rabu (27/3/13).
sumber : LENSAINDONESIA.COM