![]() |
Suasana Di Anjungan Stand Kab. Simeulue |
PEKAN Kebudayaan Aceh (PKA) 6 telah berakhir. Perhelatan seni budaya yang dibuka Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat pagi (20/9) lalu, telah resmi ditutup oleh Gubernur Aceh, dr H Zaini Abdullah, Minggu (29/9) malam. Banyak kenangan yang tersisa, khususnya bagi kontingen Aceh Besar yang menyabet juara umum ajang empat tahunan ini.
Namun, di balik kemeriahan dan kesuksesannya, banyak pula kritikan terhadap pelaksanaan even ini. Di antaranya, sulitnya akses jalan ke arena PKA, hingga hiburan organ tunggal yang dinilai jauh dari budaya Aceh yang Islami.
Wartawan Serambi Indonesia, Zainal Arifin M Nur, merekam beberapa sorotan masyarakat selama PKA, dengan harapan menjadi masukan bagi panitia dalam pelaksanaan even serupa di masa mendatang. Sehingga PKA tidak diplesetkan sebagai “Pekan Kemacetan Aceh” atau plesetan lainnya yang ramai diungkap melalui di jejaring sosial. Catatan ini diturunkan dalam dua tulisan, mulai hari ini.
ALUNAN musik disko mulai merayapi telinga saat langkah saya berjalan ke arah belakang panggung utama di Kompleks Ratu Safiatuddin. Di kiri, di panggung Anjungan Kota Sabang, tiga gadis dengan pakaian adat sedang menarikan tarian tradisional.
Hanya segelintir orang yang menonton pertunjukan di sini, termasuk beberapa pedagang kacang rebus, di seberang jalan kecil yang memisahkan Anjungan Sabang dengan panggung utama.
Di sebelahnya, Anjungan Kabupaten Aceh Jaya malah sepi dari aktifitas. Beberapa pengunjung terlihat keluar dari pintu rumoh Aceh Jaya. Karena jam sudah menunjuk ke pukul 23 lewat 42 menit. Kurang dari 20 menit lagi, hari Jumat (27/9) berganti ke Sabtu (28/9/2013).
Sebelumnya, sekitar pukul 23.00 WIB terdengar pengumuman dari pengeras suara di panggung utama. “Kegiatan pertunjukan seni budaya malam ini (Jumat malam-red) akan berakhir pada pukul 24.00 WIB.”
Rasa penasaran akan banyaknya komentar di jejaring sosial Facebook tentang hiburan yang jauh dari budaya Aceh nan Islami, terbukti saat saya menoleh ke sebelah kanan. Tepat di belakang panggung utama, sekumpulan pemuda berjingkrak-jingkrak di bawah, sedikitnya, empat sound system berkekuatan besar.
Suara musik dangdut disko terdengar berdentam-dentam. Namun kualitas sound yang cukup bagus, membuat hentakan musik itu terasa mengasyikkan. Paling tidak bagi para anak-anak muda yang berkumpul di depan panggung di Anjungan Kabupaten Simeulue.
Suasana di atas panggung juga tidak kalah meriahnya. Meski kebanyakan diisi orang-orang yang tidak bisa dikatakan muda lagi, tapi semangat mereka dalam berjoget hanya kalah tipis dari anak muda di bawah panggung. Beberapa perempuan, mulai dari usia 20-an tahun hingga 40-an tahun, silih berganti menyanyikan lagu “Lima menit lagi” ciptaan Fazal Dath yang dipopulerkan oleh Ine Sinthya pada 1993.
“Ma ma ma ma ma tolonglah. Suruh saja dia masuk. Aku mau pura-pura, merintih-rintih di kamar”. Lirik pada lagu tersebut terlihat kompak dengan jingkrakan di atas penggung.
Suasana tak kalah meriah terlihat di panggung yang berada di depan Anjungan Kabupaten Gayo Lues. Hanya saja, kualitas sound system di panggung ini kalah sedikit dari panggung di sebelahnya, milik Simeulue. Meski lagunya tak terdengar jelas, namun tetap saja tidak menyurutkan semangat sekelompok anak muda yang berjingkrak mengikuti musik disko. Jam sudah menunjukkan ke arah pukul 23.47 menit.
Di seberangnya, beberapa orang yang berdiri di depan Anjungan Kabupaten Nagan Raya, menatap nanar ke arah dua kumpulan anak muda yang berada di Anjungan Gayo Lues dan Simeulue. Panggung yang berada di sebelah Anjungan Nagan Raya, juga sepi dari aktifitas.
Beberapa orang yang terlihat seperti pemain debus duduk santai di atas panggung. Sepertinya mereka baru saja mengakhiri pertunjukan budaya di panggung itu. Dua sound system ukuran kecil tergeletak di dua sudut depan panggung. Kedua sound ini sepi tanpa bersuara, mungkin karena kalah kelas dari ‘rekannya’ yang berada di anjungan Gayo Lues dan Simeulue.
sumber : Kabar ACEH