Semestinya orang-orang sekuler di
Jakarta yang sudah luas wawasan pengetahuannya, menyasar rakyat aceh
untuk dicerdaskan, dicerahkan agar muncul para pendobrak yang berani
menentang rezim syariah di sana. Bukan malah menghina-hina. Kelemahan
orang sekuler kini masih ada pandangan yang menyekat bahwa ada wilayah
yang diperuntukkan untuk agama A, rezim B
, untuk berkuasa dan mengontrol
masyarakat. Padahal jika kita memperjuangkan sekulerisme, hanya satu
rezim yang harusnya ada di negara ini, yaitu rezim sekuler yang
memperjuangkan sekulerisasi, tak peduli sasarannya di serambi mekkah,
serambi yerussalem, serambi vatikan, dan serambi2 lainnya. Sekulerisasi
adalah sekulerisasi di mana saja.
Terlalu banyak bicara struktur elit
membuat orang apatis dan skeptis. Ketika kita bisa kembali ke masa lalu
bahwa GAM menegakkan rezim syariah dengan cara angkat senjata melawan
pemerintah Indonesia. Berbekal kisah dan memori sakit hati di masa lalu
ketika zaman Orde Baru bahwa Aceh dijadikan ladang operasi militer, dan
angan-angan terciptanya pemerintahan berlandaskan syariah Islam, maka
mereka berhasil menyebarkan propaganda di kalangan masyarakat Aceh bahwa
hanya syariah-lah yang bisa menyelamatkan mereka.
Sekarang setelah Aceh dikuasai rezim
Syariah, kita bilang begini, “Wong, Gusdur dulu yang mengesahkan rezim
syariah di Aceh. Gusdur kan bapaknya sekuler.”
Mungkin orang Indonesia sebagaimana
orang-orang di belahan bumi Timur, melihat dunia berpangkal dari agama,
atau memakai bagaimana cara pandang agama dalam melihat dunia. Dengan
demikian, sekulerisme juga dianggap agama; ada nabinya, kitab sucinya,
rumah ibadahnya, korpus doktrinnya, dan lainnya yang merangkai bagaimana
suatu “agama” dikatakan sebagai agama. Padahal tidak demikian,
seseorang bisa saja mempunyai gagasan sekuler seperti Gusdur, orang lain
juga bisa tidak. Lalu siapa Gusdur? bagi para pemujanya mungkin Gusdur
adalah sesuatu, tapi bagi yang tidak suka mengidolisasikan (idolize)
manusia maka Gusdur bukan siapa-siapa, dia hanya salah satu yang
mempunyai pemikiran sekuler yang bisa saja sepemikiran bagi sebagian
orang, dan bisa juga tidak.
Kemudian di era SBY, kita juga pesimis,
“Wah, ternyata SBY pun menyepakati jika Aceh patut menggunakan syariah
dalam sistem hukum dan peraturan daerah mereka.”
Di sinilah kelemahan kita yang
memandang selalu dari struktur. Kita melihat elit pemerintah adalah
penentu segalanya sehingga kita berpangkutangan saja. Sedangkan kita
bisa bergerak dari bawah, dari masyarakat. Sebagaimana cara-cara GAM
ketika bergerilya dahulu di awal-awal perjuangan mereka. Mereka
menyebarkan propaganda maka sekarang pun kita bisa melakukan hal yang
sama.
Kita bisa sebarkan secara klandestein
(bawahtanah) ke Aceh berbagai pengetahuan-pengetahuan sekuler. Ajak
beberapa orang dari Aceh yang sudah jengah melihat bagaimana rezim
syariah berkuasa di sana. Arena ini adalah arena kontestasi antara rezim
yang berlandaskan agama, dan yang bukan berlandaskan agama (sekalipun
para pembela syariah menuding selalu menuding sekularisme sebagai agama
baru). Dari hasil diskusi, baik di dunia maya dan nyata, kita bisa
menjalin jejaring pergerakan untuk mencerahkan masyarakat Aceh. Nantinya
tekanan terhadap pemerintah Aceh itu sendiri hadir dari masyarakat,
baik di Aceh dan juga di luar Aceh.
Apa yang selalu dibanggakan GAM sebagai
kesepakatan Helsinki tidak akan berlaku lagi. Apa haknya mereka (GAM)
mengatasnamakan masyarakat jika masyarakat sendiri menginginkan
pemerintahan yang sekuler. Kita bergerak dari bawah agar para pendobrak
rezim syariah bermunculan di bumi yang katanya serambi Mekkah.
sumber : kompasiana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar