">

Jumat, 07 Februari 2014

Mendobrak Rezim Syariah di Aceh

Do you want to share?

Do you like this story?

Semestinya orang-orang sekuler di Jakarta yang sudah luas wawasan pengetahuannya, menyasar rakyat aceh untuk dicerdaskan, dicerahkan agar muncul para pendobrak yang berani menentang rezim syariah di sana. Bukan malah menghina-hina. Kelemahan orang sekuler kini masih ada pandangan yang menyekat bahwa ada wilayah yang diperuntukkan untuk agama A, rezim B
, untuk berkuasa dan mengontrol masyarakat.  Padahal jika kita memperjuangkan sekulerisme, hanya satu rezim yang harusnya ada di negara ini, yaitu rezim sekuler yang memperjuangkan sekulerisasi, tak peduli sasarannya di serambi mekkah, serambi yerussalem, serambi vatikan, dan serambi2 lainnya. Sekulerisasi adalah sekulerisasi di mana saja.
Terlalu banyak bicara struktur elit membuat orang apatis dan skeptis. Ketika kita bisa kembali ke masa lalu bahwa GAM menegakkan rezim syariah dengan cara angkat senjata melawan pemerintah Indonesia. Berbekal kisah dan memori sakit hati di masa lalu ketika zaman Orde Baru bahwa Aceh dijadikan ladang operasi militer, dan angan-angan terciptanya pemerintahan berlandaskan syariah Islam, maka mereka berhasil menyebarkan propaganda di kalangan masyarakat Aceh bahwa hanya syariah-lah yang bisa menyelamatkan mereka.
Sekarang setelah Aceh dikuasai rezim Syariah, kita bilang begini, “Wong, Gusdur dulu yang mengesahkan rezim syariah di Aceh. Gusdur kan bapaknya sekuler.”
Mungkin orang Indonesia sebagaimana orang-orang di belahan bumi Timur, melihat dunia berpangkal dari agama, atau memakai bagaimana cara pandang agama dalam melihat dunia. Dengan demikian, sekulerisme juga dianggap agama; ada nabinya, kitab sucinya, rumah ibadahnya, korpus doktrinnya, dan lainnya yang merangkai bagaimana suatu “agama” dikatakan sebagai agama. Padahal tidak demikian, seseorang bisa saja mempunyai gagasan sekuler seperti Gusdur, orang lain juga bisa tidak. Lalu siapa Gusdur? bagi para pemujanya mungkin Gusdur adalah sesuatu, tapi bagi yang tidak suka mengidolisasikan (idolize) manusia maka Gusdur bukan siapa-siapa, dia hanya salah satu yang mempunyai pemikiran sekuler yang bisa saja sepemikiran bagi sebagian orang, dan bisa juga tidak.
Kemudian di era SBY, kita juga pesimis, “Wah, ternyata SBY pun menyepakati jika Aceh patut menggunakan syariah dalam sistem hukum dan peraturan daerah mereka.”
Di sinilah kelemahan kita yang memandang selalu dari struktur. Kita melihat elit pemerintah adalah penentu segalanya sehingga kita berpangkutangan saja. Sedangkan kita bisa bergerak dari bawah, dari masyarakat. Sebagaimana cara-cara GAM ketika bergerilya dahulu di awal-awal perjuangan mereka. Mereka menyebarkan propaganda maka sekarang pun kita bisa melakukan hal yang sama.
Kita bisa sebarkan secara klandestein  (bawahtanah) ke Aceh berbagai pengetahuan-pengetahuan sekuler. Ajak beberapa orang dari Aceh yang sudah jengah melihat bagaimana rezim syariah berkuasa di sana. Arena ini adalah arena kontestasi antara rezim yang berlandaskan agama, dan yang bukan berlandaskan agama (sekalipun para pembela syariah menuding selalu menuding sekularisme sebagai agama baru). Dari hasil diskusi, baik di dunia maya dan nyata, kita bisa menjalin jejaring pergerakan untuk mencerahkan masyarakat Aceh. Nantinya tekanan terhadap pemerintah Aceh itu sendiri hadir dari masyarakat, baik di Aceh dan juga di luar Aceh.
Apa yang selalu dibanggakan GAM sebagai kesepakatan Helsinki tidak akan berlaku lagi. Apa haknya mereka (GAM) mengatasnamakan masyarakat jika masyarakat sendiri menginginkan pemerintahan yang sekuler. Kita bergerak dari bawah agar para pendobrak rezim syariah bermunculan di bumi yang katanya serambi Mekkah.

sumber : kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q