Oleh Zainal Arifin M. Nur
PADA
28-30 Desember 2013 lalu, saya bersama lima rekan dari Aceh, yakni
Hasan Basri, Tarmizi A Hamid, Mulyadi Nurdin, Safaruddin, dan Irfan,
melakukan kunjungan ke Brunei Darussalam. Selama dua hari di Brunei,
banyak pengalaman yang kami dapatkan. Meski sama-sama berjuluk
Darussalam, tapi dalam banyak hal, Aceh jelas kalah jauh dari Brunei.
Selama
dua hari di Bandar Seri Begawan, ibu kota negara Brunei Darussalam,
kami melihat kehidupan warga yang sangat tertib. Selama dua hari itu
pula kami tidak sekali pun mendengar suara klakson kendaraan. Kami hanya
sekali melihat satu sepeda motor melaju di jalanan Bandar Seri Begawan
yang terhampar mulus dan bersih dari sampah, apalagi kotoran sapi.
Namun,
tentu tidak cukup elok jika membandingkan Brunei Darussalam dengan Aceh
Darussalam. Karena Brunei adalah negara kaya minyak yang hanya mengurus
450 ribu jiwa penduduk. Selain itu, peran Inggris yang memerdekakan
Brunei pada 1984 juga sangat menguatkan posisi Sultan Hasanul Bolkiah
(68) dalam menyejahterakan rakyatnya yang setara jumlah penduduk Kota
Banda Aceh.
Janji kampanye ‘Zikir’
Tapi
tetap saja menjadi sesuatu yang menarik untuk membandingkan (minimal
sebagian kecil) dari apa yang berlaku di Brunei dengan Aceh Darussalam.
Kenapa? Karena salah satu materi kampanye Zaini Abdullah dan Muzakir
Manaf (Zikir) pada Pilkada 2012 lalu adalah ingin memajukan Aceh seperti
Brunei Darussalam atau Singapura seperti yang dijanjikan saat
berkampanye di Lhoong Raya, Aceh Besar, Senin, 2 April 2012 (Serambi,
3/42012).
Maka jadilah banyak pihak yang kemudian membandingkan
janji Rp 1 juta per kepala keluarga (KK) yang juga disampaikan dalam
beberapa kesempatan kampanye Zaini-Muzakir, seperti dalam kampanye di
Lapangan Blang Asan, Kecamatan Peusangan, Bireuen (Membongkar
Janji-janji Doto-Mualem, The Globe Journal, 2/7/2012). Janji 1 juta/KK
ini juga disampaikan saat berkampanye di Stadion Haji Syahadat Kutacane,
Aceh Tenggara, Sabtu, 31 Maret 2012 (Serambi, 1/4/2012)
Saat di
Brunei, kami mendengar sendiri pengakuan warga Brunei tentang “gaji tua”
senilai 250 dolar Brunei (hampir Rp 2,5 juta) yang diberikan kepada
setiap warga yang berusia di atas 60 tahun. Artinya, satu keluarga
terdiri dari suami isteri berusia di atas 60 tahun, maka keluarga itu
akan mendapatkan tunjangan sebesar Rp 5 juta (Citizen Reporter, Hasan
Basri M Nur, Serambi, 31/12/2013).
Tapi, sekali lagi tentu tidak
fair jika kemudian fakta ini juga harus diikuti oleh Aceh. Selain karena
Brunei adalah negara kaya yang hanya mengurus 450 ribu jiwa
penduduknya, juga karena uang senilai 250 dolar Brunei (Rp 2,5 juta) di
Bandar Seri Begawan, hanya cukup untuk 250 botol air kemasan ukuran
mini.
Sekadar perbandingan, air kemasan yang di Aceh dijual
seharga Rp 1.500, di Brunei dibanderol dengan harga 1 dolar Brunei atau
sekitar Rp 9.830. Uang 1 dolar hanya dapat nasi ‘katok’ (nasi putih
dengan sedikit kuah dan secuil daging ayam). “Harganya yang murah,
membuat nasi katok ini sangat laris, terutama bagi para pekerja dari
luar,” kata Drs Tgk H Ismuhadi (50), alumnus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh,
yang sudah 25 tahun menetap di Brunei Darussalam.
Syariat Islam
Selain
urusan perut dan pembangunan dunia, ada satu hal lainnya yang cukup
menarik minat saya untuk melewatkan cuti tahun ini ke Brunei. Yakni,
pidato Sultan Brunei Hassanul Bolkiah yang mengumumkan pemberlakukan
hukuman lebih tegas sesuai syariat Islam bagi setiap tindak pidana di
negeri itu. Hukuman yang dimaksud termasuk hukuman mati dengan cara
dirajam bagi para pelaku zina.
Hassanul Bolkiah yang tercatat
sebagai salah seorang pria terkaya di dunia mengatakan, Undang-undang
baru ini akhirnya diberlakukan setelah mengalami penggodokan selama
beberapa tahun terakhir. “Diberlakukan untuk enam bulan ke depan dan
secara bertahap,” ujar Sultan yang disapa Paduka Yang Maha Mulia ini
seperti dilansir AFP, Selasa (22/10/2013).
Saat kami berkeliling
Bandar Seri Begawan dengan mobil Tgk Ismuhadi, kami beberapa kali
mendengar pengumuman di radio tentang pemberlakuan hukum syariah mulai
2014 ini. Berdasarkan rincian kasus-kasus tertentu, hukuman berat yang
akan diberlakukan termasuk hukuman rajam bagi para pezina. Juga hukuman
potong anggota tubuh bagi kasus pencurian, dan hukuman cambuk bagi
bermacam tindak pelanggaran mulai dari aborsi hingga mengonsumsi
alkohol.
Dalam pidatonya saat mengumumkan penerapan hukum Islam
bagi pelaku pidana, Bolkiah mengatakan, “Insya Allah, dengan penerapan
hukum ini, kewajiban kita kepada Allah sudah terpenuhi.” Dalam pandangan
saya, pengumuman sultan ini, sungguh tindakan yang sangat berani.
Pasalnya, keputusan untuk mengubah undang-undang ini akan membuat Brunei
menjadi negara satu-satunya di Asia Tenggara yang menerapkan hukum
syariah di tingkat nasional.
Selain itu, keputusan ini juga akan
menimbulkan reaksi keras dari kelompok-kelompok yang menganggap
penerapan hukum syariat bakal memangkas kebebasan dan hak-hak perempuan.
Apalagi, penolakan ini telah lebih dulu disuarakan oleh Direktur
Islamic Renaissance Front, Dr Ahmad Farouk Musa, seperti disiarkan
program ‘Asia Pasifik’ Radio Australia (Penerapan Hukum Islam Brunei
Ditolak, radioaustralia.net.au, 23/10/2013)
Bedanya dengan di
Aceh, penolakan dari kelompok-kelompok masyarakat tertentu ini, tidak
membuat penguasa Brunei gentar. Mungkin ini, karena Brunei tidak
tergantung dengan bantuan dari luar negeri. Istilahnya, “apa urusan lu
dengan negara gue?”. Sesuatu yang tidak mungkin diucapkan oleh pemimpin
di Aceh saat ini.
Inilah yang melatarbelakangi saya memilih judul
tulisan ini “Aceh di Antara Brunei dan Malaysia”. Kenapa pula dengan
Malaysia? Karena negara jiran ini yang juga melaksanakan syariat Islam,
tapi kehidupan penduduknya terlihat sangat bebas. Di jalanan dan
mal-mal, banyak didapati orang-orang yang memakai celana pendek dan
tidak berjilbab. Di Malaysia juga ada lokalisasi judi, yakni Genting
Highland.
Relatif konservatif
Kondisi ini
sangat berbeda dengan Brunei yang terkesan sangat tertutup untuk orang
luar. Dalam kunjungan ke Pusat Da’wah Islamiyah Brunei, kami melihat
negara ini mempraktikkan Islam yang relatif konservatif ketimbang
Malaysia dan Aceh. Brunei melarang penjualan dan konsumsi alkohol, dan
membatasi agama-agama lain, termasuk melarang peredaran beberapa film
dan buku-buku tertentu yang dianggap dapat mendangkalkan akidah
penduduknya.
Dalam museum di Pusat Da’wah Islamiyah Brunei, kami
melihat beberapa barang yang disita karena dilarang beredar. Ada cincin
dan benda-benda jimat, beberapa baju milik klub sepakbola yang
melambangkan agama lain, beberapa VCD film panas asal Indonesia, serta
VCD film Escape from Thaliban. Padahal, hampir semua benda itu sangat
mudah ditemui di Aceh.
Singkatnya, dalam hal pelaksanaan syariat
Islam, Aceh masih lebih terbuka dibandingkan Brunei. Mungkin ini karena
Aceh belum sepenuhnya menjalankan pemerintahan sendiri, juga karena
masih sangat tergantung dari bantuan pihak luar. Tapi, Aceh tidak pula
seperti Malaysia, yang memberikan kebebasan luas kepada warga nonmuslim
untuk bermain judi, mabuk-mabukan, dan perbuatan maksiat lainnya di
negeri mereka.
Lalu mau dibawa kemana Aceh ini? Ingin seperti
Brunei atau Malaysia? atau sudah cukup seperti saat ini? Semuanya sangat
tergantung kepada para pemimpin dan penduduknya. Wallahua’lam bis
shawab.
Zainal Arifin M. Nur, Wartawan Harian Serambi Indonesia, dan aktivis Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) Aceh.
Sumber : Serambi Indonesia
Minggu, 12 Januari 2014
Top 5 News
Contact Us | About Us | Privacy | Help | Redaksi | Info Iklan | F A Q |
Terdaftar 2013 | Lintas Aceh ® Meneruskan Informasi Terkini Seputar Aceh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar