">

Jumat, 26 Desember 2014

10 Tahun setelah tsunami, Banda Aceh sudah bergeliat

Do you want to share?

Do you like this story?

Aceh - Sepuluh tahun sudah berlalu musibah besar gempa dan tsunami di Aceh. Musibah yang telah meluluhlantakkan Aceh dan memakan korban ratusan ribu jiwa, lapangan pekerjaan dan juga infrastruktur mulai bergeliat.

Kini Banda Aceh, kota yang ter
parah terkena tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 lalu telah bangkit. Pembangunan baik infrastruktur maupun lapangan pekerjaan sudah mulai tumbuh. Geliat ekonomi juga sudah mulai bernapas.

Banda Aceh 10 tahun silam seperti kota mati, gelap gulita, porak-poranda. Kini hiruk-pikuk kehidupan siang malam sudah terlihat. Justru jauh lebih ramai dibandingkan sebelumnya. Lihat saja misalnya Banda Aceh yang sudah dijuluki 1001 Warung Kopi (Warkop).

Sampai larut malam, warga Banda Aceh bisa menikmati hiruk-pikuk malam tanpa ada gangguan. Apa lagi Aceh pernah juga mengalami konflik lebih 30 tahun. Namun paska tsunami dan saat ini, warga Banda Aceh bisa menikmati secangkir kopi sembari berdiskusi dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan internet.

Setiap warung kopi di Banda Aceh sudah dilengkapi dengan fasilitas internet. Sehingga warga dengan mudah bisa online, bahkan ada hotspot internet gratis disediakan oleh pemerintah. Seperti terdapat di Taman Sari, Banda Aceh, tersedia Wifi gratis.

Pemerintah Kota Banda Aceh untuk membangun Banda Aceh telah bekerjasama dengan Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Kobe University, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) dan The Toyota Foundation. Sehingga wajah kota Banda Aceh kini sudah berubah jauh lebih elok.

Kemegahan balai kota, jalan sudah beraspal hotmix. Tata taman kota yang indah serta sudah ada beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH). Termasuk pembangunan Pelabuhan Penyeberangan Ulee Lheue. Kemudian kawasan pantai Ulee Lheuen pun sudah dijadikan objek wisata.

Selain itu sektor ekonomi juga ada beberapa mal besar yang sudah dibangun. Seperti bangunan di Pasar Aceh, pusat perbelanjaan di Banda Aceh dan ada dua mal besar yang sudah berdiri kokoh di Banda Aceh.

Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa'aduddin Djamal mengatakan, setiap tahunnya diperingati salah satu bencana terbesar dalam sejarah manusia modern, yakni gempa besar dan tsunami 26 Desember 2004.

"Sekitar 170 ribu orang meninggal atau hilang dan 500 ribu orang kehilangan tempat tinggal di sepanjang 2.000 mil Lautan Hindia hingga ke India, Sri Lanka, Maldives, Madagaskar dan Somalia di Afrika," katanya.

Di Aceh sendiri, 126.761 orang meninggal, katanya, 93.285 hilang, 25.572 terluka, dan 125.572 orang kehilangan tempat tinggalnya. Termasuk di antara para syuhada tsunami 2004 itu adalah warga Kota Banda Aceh yang berjumlah 78.417 jiwa yang meninggal atau hilang.

Selama 10 tahun pasca tsunami, secara fisik, Aceh, khususnya Banda Aceh, termasuk wilayah Kecamatan Meuraxa yang menjadi "ground zero" kini sudah jauh lebih baik.

"Secara ekonomi, kita terus mengalami pertumbuhan yang tinggi setelah bencana. Secara sosial, kemasyarakatan dan kesehatan, dampak bencana besar itu juga telah dapat diatasi dengan cukup baik sehingga Aceh, khususnya Banda Aceh sering menjadi tempat pembelajaran pasca-bencana," sebutnya.

Menurut Illiza, setelah 10 tahun pemulihan pasca tsunami 2004 lalu, sangat tepat dan menarik untuk dikaji apa yang telah terjadi di Aceh, perubahan apa saja yang dialami masyarakat. Dari hasil kajian tersebut dapat dipelajari apa yang terjadi dengan berbagai bantuan, kegiatan, intervensi pasca Tsunami 2004.

"Akhirnya, kita juga dapat melihat apakah program-program mitigasi bencana makin baik dan diterima masyarakat sehingga hidup kita lebih aman di masa depan," jelasnya.

Lewat kajian yang banyak dan panjang, jelasnya, kita akan makin mengenal wilayah dan potensi bencana di wilayah kita. Dengan demikian, kita bisa 'hidup bersama bencana' karena wilayah kita memang wilayah rawan bencana.

Warga Aceh, kata Illiza, patut bersyukur karena Unsyiah sebagai lembaga pendidikan dan penelitian utama di Aceh telah mempunyai sebuah lembaga kajian tsunami dan mitigasi bencana bertaraf internasional.

"Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (Tsunami and Disaster Mitigation Research Center, TDMRC) dapat menjadi tumpuan dan harapan kita untuk memahami bencana dan kebencanaan di Aceh dan wilayah lainnya."

Seiring dengan makin seringnya bencana terjadi di wilayah perkotaan, Kota Banda Aceh tentu saja memerlukan dan mendukung kajian-kajian tentang kebencanaan.

"Jika tidak dilakukan usaha-usaha mitigasi dan adaptasi yang memadai, dipastikan akan memakan korban manusia dan harta benda yang lebih besar," katanya lagi.

sumber : merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q