Aceh - Sepuluh tahun sudah berlalu musibah besar gempa dan tsunami di Aceh.
Musibah yang telah meluluhlantakkan Aceh dan memakan korban ratusan ribu
jiwa, lapangan pekerjaan dan juga infrastruktur mulai bergeliat.
Kini
Banda Aceh, kota yang ter
parah terkena tsunami pada tanggal 26 Desember
2004 lalu telah bangkit. Pembangunan baik infrastruktur maupun lapangan
pekerjaan sudah mulai tumbuh. Geliat ekonomi juga sudah mulai bernapas.
Banda
Aceh 10 tahun silam seperti kota mati, gelap gulita, porak-poranda.
Kini hiruk-pikuk kehidupan siang malam sudah terlihat. Justru jauh lebih
ramai dibandingkan sebelumnya. Lihat saja misalnya Banda Aceh yang
sudah dijuluki 1001 Warung Kopi (Warkop).
Sampai larut malam,
warga Banda Aceh bisa menikmati hiruk-pikuk malam tanpa ada gangguan.
Apa lagi Aceh pernah juga mengalami konflik lebih 30 tahun. Namun paska
tsunami dan saat ini, warga Banda Aceh bisa menikmati secangkir kopi
sembari berdiskusi dan menyelesaikan tugas-tugas yang berhubungan dengan
internet.
Setiap warung kopi di Banda Aceh sudah dilengkapi
dengan fasilitas internet. Sehingga warga dengan mudah bisa online,
bahkan ada hotspot internet gratis disediakan oleh pemerintah. Seperti
terdapat di Taman Sari, Banda Aceh, tersedia Wifi gratis.
Pemerintah
Kota Banda Aceh untuk membangun Banda Aceh telah bekerjasama dengan
Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Universitas
Syiah Kuala (Unsyiah), Kobe University, Badan Penanggulangan Bencana
Aceh (BPBA) dan The Toyota Foundation. Sehingga wajah kota Banda Aceh
kini sudah berubah jauh lebih elok.
Kemegahan balai kota, jalan
sudah beraspal hotmix. Tata taman kota yang indah serta sudah ada
beberapa Ruang Terbuka Hijau (RTH). Termasuk pembangunan Pelabuhan
Penyeberangan Ulee Lheue. Kemudian kawasan pantai Ulee Lheuen pun sudah
dijadikan objek wisata.
Selain itu sektor ekonomi juga ada
beberapa mal besar yang sudah dibangun. Seperti bangunan di Pasar Aceh,
pusat perbelanjaan di Banda Aceh dan ada dua mal besar yang sudah
berdiri kokoh di Banda Aceh.
Wali Kota Banda Aceh Illiza
Sa'aduddin Djamal mengatakan, setiap tahunnya diperingati salah satu
bencana terbesar dalam sejarah manusia modern, yakni gempa besar dan
tsunami 26 Desember 2004.
"Sekitar 170 ribu orang meninggal atau
hilang dan 500 ribu orang kehilangan tempat tinggal di sepanjang 2.000
mil Lautan Hindia hingga ke India, Sri Lanka, Maldives, Madagaskar dan
Somalia di Afrika," katanya.
Di Aceh sendiri, 126.761 orang
meninggal, katanya, 93.285 hilang, 25.572 terluka, dan 125.572 orang
kehilangan tempat tinggalnya. Termasuk di antara para syuhada tsunami
2004 itu adalah warga Kota Banda Aceh yang berjumlah 78.417 jiwa yang
meninggal atau hilang.
Selama 10 tahun pasca tsunami, secara
fisik, Aceh, khususnya Banda Aceh, termasuk wilayah Kecamatan Meuraxa
yang menjadi "ground zero" kini sudah jauh lebih baik.
"Secara
ekonomi, kita terus mengalami pertumbuhan yang tinggi setelah bencana.
Secara sosial, kemasyarakatan dan kesehatan, dampak bencana besar itu
juga telah dapat diatasi dengan cukup baik sehingga Aceh, khususnya
Banda Aceh sering menjadi tempat pembelajaran pasca-bencana," sebutnya.
Menurut
Illiza, setelah 10 tahun pemulihan pasca tsunami 2004 lalu, sangat
tepat dan menarik untuk dikaji apa yang telah terjadi di Aceh, perubahan
apa saja yang dialami masyarakat. Dari hasil kajian tersebut dapat
dipelajari apa yang terjadi dengan berbagai bantuan, kegiatan,
intervensi pasca Tsunami 2004.
"Akhirnya, kita juga dapat melihat
apakah program-program mitigasi bencana makin baik dan diterima
masyarakat sehingga hidup kita lebih aman di masa depan," jelasnya.
Lewat
kajian yang banyak dan panjang, jelasnya, kita akan makin mengenal
wilayah dan potensi bencana di wilayah kita. Dengan demikian, kita bisa
'hidup bersama bencana' karena wilayah kita memang wilayah rawan
bencana.
Warga Aceh, kata Illiza, patut bersyukur karena Unsyiah
sebagai lembaga pendidikan dan penelitian utama di Aceh telah mempunyai
sebuah lembaga kajian tsunami dan mitigasi bencana bertaraf
internasional.
"Pusat Studi Tsunami dan Mitigasi Bencana (Tsunami
and Disaster Mitigation Research Center, TDMRC) dapat menjadi tumpuan
dan harapan kita untuk memahami bencana dan kebencanaan di Aceh dan
wilayah lainnya."
Seiring dengan makin seringnya bencana terjadi
di wilayah perkotaan, Kota Banda Aceh tentu saja memerlukan dan
mendukung kajian-kajian tentang kebencanaan.
"Jika tidak
dilakukan usaha-usaha mitigasi dan adaptasi yang memadai, dipastikan
akan memakan korban manusia dan harta benda yang lebih besar," katanya
lagi.
sumber : merdeka.com
Top 5 News
Contact Us | About Us | Privacy | Help | Redaksi | Info Iklan | F A Q |
Terdaftar 2013 | Lintas Aceh ® Meneruskan Informasi Terkini Seputar Aceh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar