">

Jumat, 07 Februari 2014

Perpustakaan Aceh dan Teknologi RFID

Do you want to share?

Do you like this story?

Oleh Tengku Nurul Kemalahayati

PERPUSTAKAAN Aceh yang didirikan pada 1969 dengan nama Perpustakaan Negara, pada awalnya hanya menempati satu ruangan seluas 12 meter persegi di Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) Daerah Istimewa Aceh. Jumlah koleksi bukunya pun cuma 80 eksemplar dan dikelola (diolah) hanya oleh dua orang pegawai. Kemudian, berdasarkan SK Menteri P dan K No. 8429/c/B.3/1979 tanggal 29 Oktober 1979, Perpustakaan Negara berubah nama menjadi Perpustakaan Wilayah. Pada 1989 namanya berubah lagi menjadi Perpustakaan Daerah.


Satu windu kemudian, tepatnya pada 1997 namanya berubah lagi menjadi Perpustakaan Nasional Daerah Istimewa Aceh. Lalu, pada pada 2001 menjadi Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dan, terakhir pada 2006, berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun No.5 Tahun 2007 tentang Perubahan Struktur Organisasi Pemerintah Daerah, Badan Perpustakaan Provinsi NAD resmi menjadi Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, dengan visi menjadikan “Arsip dan perpustakaan sebagai sumber informasi dan sarana pembangunan SDM yang Islami”.

Ketika tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, Perpustakaan Aceh merupakan satu bangunan yang ikut luluh-lantak. Namun, peristiwa itu tidak membuat orang-orang yang berkecimpung di dalam dunia literasi ini larut dalam kesedihan berkepanjangan. Hanya butuh waktu satu tahun, Perpustakaan Aceh kembali bangkit, bahkan menjadi institusi yang pertama sekali dibuka kembali dan memberi layanan bagi publik pascapetaka gelombang raya itu. 

 Aspek layanan
Saya akan mendeskripsikan seberapa menariknya perpustakaan Aceh saat ini, dengan fokus utama pada aspek layanan publik. Hingga saat ini, layanan yang diberikan perpustakaan Aceh kepada masyarakat terbagi atas dua, yakni layanan stasioner dan ekstensi. Layanan stasioner terdiri atas layanan sirkulasi (peminjaman dan pengembalian buku), referensi, layanan audio visual, storytelling (mendongeng untuk anak), dan deposit. Layanan ekstensi meliputi layanan perpustakaan keliling, paket bagi organisasi, dan layanan perpustakaan untuk lembaga pemasyarakatan (LP) di seluruh Aceh secara gratis alias tanpa pungutan biaya.
Sejak berdiri hingga awal 2010, semua layanan yang diberikan masih bersifat manual. 

Berbagai transaksi yang digunakan masih melibatkan fungsi petugas perpustakaan [baca: pustakawan]  secara utuh. Salah satu contohnya adalah layanan sirkulasi. Transaksi peminjaman dan pengembalian buku dilakukan dengan menggunakan catatan peminjaman dan pengembalian yang dicatat oleh pustakawan. Begitu juga peran kartu buku menjadi kebutuhan vital dalam transaksi yang ada dalam layanan sirkulasi. Akibatnya, pelayanan sirkulasi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan transaksi. 

Pada 2010, pelayanan perpustakaan Aceh mulai dibantu oleh teknologi informasi yang menciptakan kegiatan pustakawan semakin mudah. Tugas, fungsi, hak, dan kewajiban pustakawan beserta kedudukan perpustakaan dengan segala fungsinya semakin kuat dengan dikeluarkannya UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. UU ini juga mengukuhkan kedudukan dan sebutan pengguna perpustakaan menjadi pemustaka. Demikian pula pelayanan yang diberikan berubah secara signifikan dan waktu pelayanan sirkulasi menjadi lebih cepat, apalagi teknologi yang diterapkan oleh Perpustakaan Aceh berbasis internet. 

Munculnya OPAC (Online Public Access Catalog) menciptakan perpustakaan sebagai gudang informasi dengan sistem penemuan informasi yang prima dan cepat. Dengan OPAC, pemustaka dapat menemukan koleksi yang dicari hanya dengan mengetik judul, subjek atau pengarangnya di komputer, kemudian dalam waktu relatif singkat komputer memberikan informasi perihal tempat dan nomor panggil koleksi tersebut. Perkembangan pelayanan dan peningkatan kualitas pelayanan di Perpustakaan Aceh terus dilakukan. Sikap efektif dalam penyampaian teguran dan telah terciptanya kemandirian pemustaka memberikan dampak positif terhadap perkembangan pelayanan perpustakaan. 

Menyadari perkembangan teknologi dan pentingnya kemandirian pemustaka dalam menggunakan perpustakaan, gebrakan baru terus dilakukan di mana dalam waktu dekat ini Perpustakaan Aceh akan menggunakan teknologi RFID (Radio Frequency Identification) yang dihubungkan dengan Self Loan Stasion Machine, yaitu mesin pengembalian dan peminjaman buku otomatis. Mesin ini dirancang untuk memproses peminjaman dan pengembalian buku yang dilakukan sendiri oleh pemustaka. Ya, mirip-mirip mesin ATM-lah. Cuma, kalau ATM mencatat transaksi keuangan, RFID mencatat transaksi buku sebagai ladang ilmu pengetahuan. 

Cara kerja RFID ini adalah menggunakan chip yang ditempel pada buku. Saat pemustaka ingin meminjam buku, tinggal meletakkan saja buku yang diinginkan pada mesin, maka akan tertera data buku pada layar monitor mesin. Kemudian pemustaka memasukkan nomor identitas anggota, klik OK pada peminjaman, maka proses peminjaman buku selesai dalam waktu singkat. Tentu saja, mesin tidak akan berfungsi terhadap buku-buku yang belum dipasangi chip (penyimpan informasi data buku).

RFID inilah yang dulu terdengar digembar-gemborkan juga oleh Pertamina, walaupun sampai saat ini prosesnya belum rampung 100%. pemasangan sistem RFID pada stasiun pengisian bahan bakar (pom) bensin berfungsi untuk mencegah penyelundupan atau penyalahgunaan BBM bersubsidi. RFID berfungsi untuk membaca data kendaraan dan mencatat jumlah transaksi pembelian BBM bersubsidi. Proses pencatatan itu dimulai ketika nozzle (kepala selang pompa) dalam posisi mengisi tanki kendaraan. Chip pada nozzle dan chip di mulut tanki akan terkoneksi otomatis ketika BBM bersubsidi dialirkan. Semua data terekam (Sindonews.com).

 Mempercepat transaksi
Pada kendaraan tanpa RFID, nozzle tak dapat membaca data yang diperlukan sehingga ia pun tidak mengeluarkan BBM. Akibatnya, pemilik kendaraan mau tidak mau harus mengisi “makanan” tunggangannya di dispenser BBM nonsubsidi. Hal ini jugalah yang ingin diterapkan di Perpustakaan Aceh. Bila RFID pada pom bensin bertujuan untuk membedakan kendaraan yang berhak mendapat BBM subsidi, pada perpustakaan bertujuan untuk meminimalisir waktu yang dibutuhkan dalam proses transaksi peminjaman satu unit buku. 

Jadi, dengan memakai teknologi ini diharapkan tidak terjadi lagi antrean panjang pada meja sirkulasi. Bagi pemustaka yang ingin meminjam buku, dapat langsung menuju mesin untuk memindai bukunya secara mandiri. Dalam hal pemakaian RFID ini, Perpustakaan Aceh menempati urutan ke-4 di Indonesia setelah Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Perpustakaan Nasional RI, dan Perpustakaan Universitas Indonesia (UI). 

Dengan mengusung konsep selfservice (pelayanan mandiri), penggunaan mesin ini akan mendidik pemustaka untuk lebih mandiri dalam menggunakan perpustakaan dan meningkatkan kinerja pustakawan berbasis IT. Pengadaan teknologi yang mendidik kemandirian pemustaka merupakan satu konsep pelayanan era informasi di mana akan tercipta rasa memiliki para pemustaka dan perpustakaan pun dapat digunakan secara maksimal untuk fungsi pendidikan, informasi, rekreasi, pelestarian budaya, dan menjadi tempat belajar seumur hidup bagi masyarakat, termasuk Aceh. Semoga!

* Tengku Nurul Kemalahayati, SE, Pustakawan Muda pada Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, dan Dosen jurusan Perpustakaan pada Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Email: nurulkemalahayati@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q