Oleh Tengku Nurul Kemalahayati
PERPUSTAKAAN 
Aceh yang didirikan pada 1969 dengan nama Perpustakaan Negara, pada 
awalnya hanya menempati satu ruangan seluas 12 meter persegi di Kantor 
Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) 
Daerah Istimewa Aceh. Jumlah koleksi bukunya pun cuma 80 eksemplar dan 
dikelola (diolah) hanya oleh dua orang pegawai. Kemudian, berdasarkan SK
 Menteri P dan K No. 8429/c/B.3/1979 tanggal 29 Oktober 1979, 
Perpustakaan Negara berubah nama menjadi Perpustakaan Wilayah. Pada 1989
 namanya berubah lagi menjadi Perpustakaan Daerah.
Satu windu 
kemudian, tepatnya pada 1997 namanya berubah lagi menjadi Perpustakaan 
Nasional Daerah Istimewa Aceh. Lalu, pada pada 2001 menjadi Badan 
Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dan, terakhir pada
 2006, berdasarkan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) 
dan Qanun No.5 Tahun 2007 tentang Perubahan Struktur Organisasi 
Pemerintah Daerah, Badan Perpustakaan Provinsi NAD resmi menjadi Badan 
Arsip dan Perpustakaan Aceh, dengan visi menjadikan “Arsip dan 
perpustakaan sebagai sumber informasi dan sarana pembangunan SDM yang 
Islami”.
Ketika tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004, 
Perpustakaan Aceh merupakan satu bangunan yang ikut luluh-lantak. Namun,
 peristiwa itu tidak membuat orang-orang yang berkecimpung di dalam 
dunia literasi ini larut dalam kesedihan berkepanjangan. Hanya butuh 
waktu satu tahun, Perpustakaan Aceh kembali bangkit, bahkan menjadi 
institusi yang pertama sekali dibuka kembali dan memberi layanan bagi 
publik pascapetaka gelombang raya itu. 
 Aspek layanan
Saya akan mendeskripsikan seberapa menariknya perpustakaan Aceh saat ini, dengan fokus utama pada aspek layanan publik. Hingga saat ini, layanan yang diberikan perpustakaan Aceh kepada masyarakat terbagi atas dua, yakni layanan stasioner dan ekstensi. Layanan stasioner terdiri atas layanan sirkulasi (peminjaman dan pengembalian buku), referensi, layanan audio visual, storytelling (mendongeng untuk anak), dan deposit. Layanan ekstensi meliputi layanan perpustakaan keliling, paket bagi organisasi, dan layanan perpustakaan untuk lembaga pemasyarakatan (LP) di seluruh Aceh secara gratis alias tanpa pungutan biaya.
Saya akan mendeskripsikan seberapa menariknya perpustakaan Aceh saat ini, dengan fokus utama pada aspek layanan publik. Hingga saat ini, layanan yang diberikan perpustakaan Aceh kepada masyarakat terbagi atas dua, yakni layanan stasioner dan ekstensi. Layanan stasioner terdiri atas layanan sirkulasi (peminjaman dan pengembalian buku), referensi, layanan audio visual, storytelling (mendongeng untuk anak), dan deposit. Layanan ekstensi meliputi layanan perpustakaan keliling, paket bagi organisasi, dan layanan perpustakaan untuk lembaga pemasyarakatan (LP) di seluruh Aceh secara gratis alias tanpa pungutan biaya.
Sejak 
berdiri hingga awal 2010, semua layanan yang diberikan masih bersifat 
manual. 
Berbagai transaksi yang digunakan masih melibatkan fungsi 
petugas perpustakaan [baca: pustakawan]  secara utuh. Salah satu 
contohnya adalah layanan sirkulasi. Transaksi peminjaman dan 
pengembalian buku dilakukan dengan menggunakan catatan peminjaman dan 
pengembalian yang dicatat oleh pustakawan. Begitu juga peran kartu buku 
menjadi kebutuhan vital dalam transaksi yang ada dalam layanan 
sirkulasi. Akibatnya, pelayanan sirkulasi membutuhkan waktu yang cukup 
lama untuk melakukan transaksi. 
Pada 2010, pelayanan perpustakaan
 Aceh mulai dibantu oleh teknologi informasi yang menciptakan kegiatan 
pustakawan semakin mudah. Tugas, fungsi, hak, dan kewajiban pustakawan 
beserta kedudukan perpustakaan dengan segala fungsinya semakin kuat 
dengan dikeluarkannya UU No.43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. UU ini 
juga mengukuhkan kedudukan dan sebutan pengguna perpustakaan menjadi 
pemustaka. Demikian pula pelayanan yang diberikan berubah secara 
signifikan dan waktu pelayanan sirkulasi menjadi lebih cepat, apalagi 
teknologi yang diterapkan oleh Perpustakaan Aceh berbasis internet. 
Munculnya
 OPAC (Online Public Access Catalog) menciptakan perpustakaan sebagai 
gudang informasi dengan sistem penemuan informasi yang prima dan cepat. 
Dengan OPAC, pemustaka dapat menemukan koleksi yang dicari hanya dengan 
mengetik judul, subjek atau pengarangnya di komputer, kemudian dalam 
waktu relatif singkat komputer memberikan informasi perihal tempat dan 
nomor panggil koleksi tersebut. Perkembangan pelayanan dan peningkatan 
kualitas pelayanan di Perpustakaan Aceh terus dilakukan. Sikap efektif 
dalam penyampaian teguran dan telah terciptanya kemandirian pemustaka 
memberikan dampak positif terhadap perkembangan pelayanan perpustakaan. 
Menyadari
 perkembangan teknologi dan pentingnya kemandirian pemustaka dalam 
menggunakan perpustakaan, gebrakan baru terus dilakukan di mana dalam 
waktu dekat ini Perpustakaan Aceh akan menggunakan teknologi RFID (Radio
 Frequency Identification) yang dihubungkan dengan Self Loan Stasion 
Machine, yaitu mesin pengembalian dan peminjaman buku otomatis. Mesin 
ini dirancang untuk memproses peminjaman dan pengembalian buku yang 
dilakukan sendiri oleh pemustaka. Ya, mirip-mirip mesin ATM-lah. Cuma, 
kalau ATM mencatat transaksi keuangan, RFID mencatat transaksi buku 
sebagai ladang ilmu pengetahuan. 
Cara kerja RFID ini adalah 
menggunakan chip yang ditempel pada buku. Saat pemustaka ingin meminjam 
buku, tinggal meletakkan saja buku yang diinginkan pada mesin, maka akan
 tertera data buku pada layar monitor mesin. Kemudian pemustaka 
memasukkan nomor identitas anggota, klik OK pada peminjaman, maka proses
 peminjaman buku selesai dalam waktu singkat. Tentu saja, mesin tidak 
akan berfungsi terhadap buku-buku yang belum dipasangi chip (penyimpan 
informasi data buku).
RFID inilah yang dulu terdengar 
digembar-gemborkan juga oleh Pertamina, walaupun sampai saat ini 
prosesnya belum rampung 100%. pemasangan sistem RFID pada stasiun 
pengisian bahan bakar (pom) bensin berfungsi untuk mencegah 
penyelundupan atau penyalahgunaan BBM bersubsidi. RFID berfungsi untuk 
membaca data kendaraan dan mencatat jumlah transaksi pembelian BBM 
bersubsidi. Proses pencatatan itu dimulai ketika nozzle (kepala selang 
pompa) dalam posisi mengisi tanki kendaraan. Chip pada nozzle dan chip 
di mulut tanki akan terkoneksi otomatis ketika BBM bersubsidi dialirkan.
 Semua data terekam (Sindonews.com).
 Mempercepat transaksi
Pada kendaraan tanpa RFID, nozzle tak dapat membaca data yang diperlukan sehingga ia pun tidak mengeluarkan BBM. Akibatnya, pemilik kendaraan mau tidak mau harus mengisi “makanan” tunggangannya di dispenser BBM nonsubsidi. Hal ini jugalah yang ingin diterapkan di Perpustakaan Aceh. Bila RFID pada pom bensin bertujuan untuk membedakan kendaraan yang berhak mendapat BBM subsidi, pada perpustakaan bertujuan untuk meminimalisir waktu yang dibutuhkan dalam proses transaksi peminjaman satu unit buku.
Pada kendaraan tanpa RFID, nozzle tak dapat membaca data yang diperlukan sehingga ia pun tidak mengeluarkan BBM. Akibatnya, pemilik kendaraan mau tidak mau harus mengisi “makanan” tunggangannya di dispenser BBM nonsubsidi. Hal ini jugalah yang ingin diterapkan di Perpustakaan Aceh. Bila RFID pada pom bensin bertujuan untuk membedakan kendaraan yang berhak mendapat BBM subsidi, pada perpustakaan bertujuan untuk meminimalisir waktu yang dibutuhkan dalam proses transaksi peminjaman satu unit buku.
Jadi, dengan memakai teknologi ini diharapkan 
tidak terjadi lagi antrean panjang pada meja sirkulasi. Bagi pemustaka 
yang ingin meminjam buku, dapat langsung menuju mesin untuk memindai 
bukunya secara mandiri. Dalam hal pemakaian RFID ini, Perpustakaan Aceh 
menempati urutan ke-4 di Indonesia setelah Perpustakaan UIN Sunan 
Kalijaga Yogyakarta, Perpustakaan Nasional RI, dan Perpustakaan 
Universitas Indonesia (UI). 
Dengan mengusung konsep selfservice 
(pelayanan mandiri), penggunaan mesin ini akan mendidik pemustaka untuk 
lebih mandiri dalam menggunakan perpustakaan dan meningkatkan kinerja 
pustakawan berbasis IT. Pengadaan teknologi yang mendidik kemandirian 
pemustaka merupakan satu konsep pelayanan era informasi di mana akan 
tercipta rasa memiliki para pemustaka dan perpustakaan pun dapat 
digunakan secara maksimal untuk fungsi pendidikan, informasi, rekreasi, 
pelestarian budaya, dan menjadi tempat belajar seumur hidup bagi 
masyarakat, termasuk Aceh. Semoga!
* Tengku Nurul Kemalahayati, SE,
 Pustakawan Muda pada Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, dan Dosen 
jurusan Perpustakaan pada Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry 
Banda Aceh. Email: nurulkemalahayati@gmail.com
 ">
 ">










 





Tidak ada komentar:
Posting Komentar