Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah. Pada era Islam pertama masuk ke Nusantara yaitu masa Kerajaan Pereulak telah dikenal adanya temapat-tempat untuk menekuni dan mendiskusikan ajaran agama, salah satu tempat yang terkenal kala itu adalah Zawiyah Cot Kala, tempat inilah yang merupakan lembaga Pendidikan Agama pertama di Nusantara.
Merujuk
kepada Sejarah Kerajaan Islam Pereulak, Dayah secara historis telah ada
sejak abad IX Masehi, demikian pendapat Tgk Muslim Ibrahim dalam
tulisannya masyarakat Yang Adil dan Bermartabat. Keberadaan Dayah di
Aceh telah ada bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir masa
kekhalifahan Usman bin Affan. Beberapa Dayah yang berkembang saat itu
diantaranya; Dayah Cot Kala, Dayah Kuta Karang, Dar as-syariah Mesjid
Raya, namun semua Dayah ini telah diobrak-abrik Belanda. Pada abad 5
Hijriah, Mesir menemukan kapal buatan Aceh yang terdampar di Laut
Tengah. Pada masa Iskandar Muda, sebuah kapal Spanyol rusak di perairan
Sabang, kemudian diderek ke pantai dengan gajah dan diperbaiki oleh
satri-santri dayah Dar as-syariah.
Menurut
Abdul Qadir Djailani dalam bukunya Peran Ulama dan Santri Dalam
Perjuangan Politik Islam di Indonesia, Samudera Pasai merupakan pusat
pendidikan Islam pertama di Indonesia dan dari sini berkembang ke
berbagai daerah lain di Indonesia, hingga sampai ke Pulau Jawa. Salah
seorang santri alumni Samudera Pasai adalah Maulana Malik Ibrahim, ia
datang ke Gresik Jawa Timur pada tahun 1399 dan wafat pada tahun 1419,
setelah melakukan dakwah selama dua puluh tahun lamanya, sebelumnya,
Maulana Malik Ibrahim bertugas sebagai Muballigh di daerah Campa yang
merupakan daerah Kesultanan Samudera Pasai, setelah Maulana Malik
Ibrahim wafat, Dayah juga diteruskan oleh anak beliau Raden Rahmat
(Sunan Ampel).
Secara
pasti tidak diketahui kapan sebenarnya Dayah masuk ke Aceh. Namun, A.
Hasyimi seorang Sejarawan Aceh, beliau berpendapat bahwa Dayah masuk ke
Aceh sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Pereulak pada Muharram 225
H/840 M. Salah satu penyebab sulitnya mengetahui dengan pasti kapan
sebenarnya Dayah masuk ke Aceh karena minimnya penelitian dan perhatian
yang cukup untuk menggali sejarah perkembangan Dayah, walaupun Anthony
Reid dalam bukunya The Rope God, membahas tentang lembaga ini, tetapi
hanya dibahas perkembangan pada masa abad ke-19 M dan pertengahan abad
ke 20 M. Tidak hanya Anthony Reid, Hasbi Amiruddin dalam bukunya Ulama
Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh, juga membahas tentang Dayah tetapi
lebih terfokus pada peranan ulamanya, bukan pada Dayah itu sendiri.
Jika
merujuk pada hasil seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam di
Nusantara yang dilaksanakan di Rantau Pereulak pada tanggal 25-30
September 1980, mengenai tahun berdirinya Kerajaan Islam Pereulak
sebagai Kerajaan Islam tertua, maka Dayah Cot Kala merupakan Dayah
pertama di Aceh bahkan di Asia Tenggara. Setelah lahirnya Dayah Cot
Kala, maka sesuai dengan tujuan pendirian dayah sendiri, yaitu untuk
mencetak kader ulama sebagai petunjuk ummat, maka Dayah Cot Kala kala
itu telah melahirkan para sarjananya yang dapat menyebarkan Islam ke
seluruh Aceh sehingga lahirlah Dayah-dayah baru seperti Dayah Serele di
bawah Pimpinan Tengku Syekh Sirajuddin yang didirikan pada tahun 1012
sampai dengan 1059 M, Dayah Blang Priya yang dipimpin oleh Tengku Ja`kob
yang didirikan antara tahun 1155-1233 M, Dayah Batu Karang di Kerajaan
Tamiang yang dipimpin oleh Tengku Ampon Tuan, Dayah Lam Keuneuen dari
Kerajaan Lamuria Islam di bawah pimpinan Tengku Syekh Abdullah Kan`an
yang didirikan antara 1196 sampai dengan 1225 M. Dayah Tanoeh Abee
antara Tahun 1823-1836 M dan Dayah Tiro di Kecamatan Tiro Kabupaten
Pidie antara tahun 1781-1795 M, dan dayah-dayah lainnya yang tersebar di
seluruh Aceh di kala itu. Perkembangan Dayah juga dilakukan pada masa
kemunduran Kerajaan Aceh Darussalam (Abad ke 18 dan ke 19 M). Dayah yang
dibangun pada masa tersebut adalah Dayah Tgk Syik Kuta Karang, Dayah
Lam Birah, Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah Krueng Rumpet, mengenai
tahun pendirian dayah tersebut belum didapat data yang pasti.
Keberadaan
Dayah pada masa perang melawan Belanda mengalami kemunduran, ini karena
seluruh Ulama Dayah dan santrinya itu ikut berjuang melawan penjajah
Belanda, sebagian besar para Ulama dan Tengku dayah syahid di medan
perang, di antaranya Tengku Chik Haji Ismail anak Tengku Chik Pante
Ya`kop (Pendiri Dayah Tgk Chik Pante Gelima), beliau syahid dalam
peperangan melawan Belanda dalam mempertahankan Kuta Glee (Kawasan Batee
Iliek Kecamatan Samalanga Kabupaten Bireuen), bersama dengan Tengku
Chik Lueng Kebue dan Tengku Syiek Kuta Glee.
Faktor
lain yang menghambat perkembangan Dayah saat itu disebabkan karena
Belanda melakukan upaya-upaya untuk menghambat pendidikan Agama Islam,
serta Belanda menyebarkan pendidikan Barat di Aceh, sehingga menyebabkan
Dayah terbengkalai. Selain itu, Belanda melakukan pembakaran terhadap
Dayah-dayah dan membunuh seluruh staf pengajarnya serta membumihanguskan
seluruh Perpustkaaan yang ada di Dayah, jika ada dayah yang masih
bertahan itupun dibangun di daerah terisolir dan jauh dari pantauan
Belanda.
Setelah usainya
peperangan pada tahun 1904 M, barulah Dayah-dayah yang telah
terbengkalai tersebut dibangun dan dibenahi kembali untuk dapat
digunakan kembali ssebagai lembaga pendidikan, adapun Dayah yang
dibangun kembali setelah perang Aceh usai antara lain, di Aceh Besar:
Dayah Tanoeh Abee, Dayah Lambirah oleh Tengku Syik Lambirah, sedangkan
adiknya Tengku Haji Ja`far (Tengku Syik Lamjabat) membangun Dayah
Jeureula, selanjutnya juga dibenahi Dayah Lamnyong, Dayah Lambhuk, Dayah
Ulee Susu, Dayah Indrapuri, Dayah Lamsenouen, Dayah Krueng Kale, Dayah
Montasik dan masih banyak lagi Dayah-Dayah yang dibangun di Daerah Aceh
Besar. Tidak hanya di kawasan Aceh Besar, Pidie, Aceh Urata, Aceh Barat
dan beberapa daerah lainnya di Aceh juga ikut membenahi kembali Dayah
yang hancur atau ditinggalkan karena perang kala itu.
Perlu
dicatat, saat itu banyak Ulama yang ikut berjuang namun tidak sedikit
juga diantara mereka yang mengasingkan diri keluar Aceh, diantaranya ke
Negeri Keudah (Malaysia Sekarang). Salah satu tempat penting mereka
berkumpul adalah Negeri Yan di Keudah, di sinilah mereka melanjutkan
tradisi pendidikan Dayah selama perang Aceh berlangsung, setelah perang
reda, mereka yang tadinya mengasingkan diri segera pulang untuk kembali
melanjutkan dan membangun kembali sistem pendidikan Dayah yang telah
mengalami kemunduran pada saat perang berkecamuk, di samping tokoh Ulama
yang pulang dari negeri Yan, ada juga yang langsung pulang dari Mekkah,
seperti Tengku Haji Muhmmad Thahir Cot Plieng, bahkan beliau pernah
bertemu dengan Snouck Hogrounje saat sama-sama berada di Mekkah.
Setelah
perang usai Dayah mengalami perkembangan, walaupun perkembangan yang
terjadi pada waktu itu tidak begitu berarti, karena pada saat itu para
Ulama Dayah disibukkan dengan perlawanan melawan Jepang, serta kebijakan
Jepang saat itu menerapkan kerja paksa serta mengabaikan sisi-sisi lain
dalam kehidupan masyarakat, termasuk pendidikan di dalamnya. Beberapa
hal tersebut membuat Dayah dalam kurun waktu 3,5 Tahun masih jalan di
tempat.
Pada masa
kemerdekaan mulai tahun 1945 M, perkembangan Dayah sudah menampakkan
hasil yang cukup baik, ini dapat dilihat dari perkembangan Dayah
Darusslamam Labuhan Haji Acah Selatan, Dayah MUDI MESRA Samalanga, Dayah BUDI Lamno,
dan Dayah dayah yang lain. Tidak hanya Dayah, Sekolah pun mulai
berkembangan, sekolah bersifat Negeri dengan dukungan dan bantuan dari
pemerintah sedangkah Dayah umumnya bersifat pribadi yang dikelola oleh
Pimpinan Dayah sendiri dengan bentuan swadaya masyarakat.
(Disarikan dari berbagai sumber)
(Disarikan dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar