">

Jumat, 27 Desember 2013

Nestapa Setelah Sembilan Tahun Bencana Aceh

Do you want to share?

Do you like this story?

BANDA ACEH - 26 Desember 2004, tsunami dahsyat meluluhlantakkan pesisir Banda Aceh. Bukan hanya puluhan ribu jiwa tewas dalam bencana itu, penghidupan masyarakat pun hancur terkubur. Jutaan simpati dunia pun hadir, triliunan rupiah bantuan datang. Kini, sembilan tahun berselang, ribuan orang di pesisir Banda Aceh masih berjibaku dengan kerasnya hidup seusai bencana.


(foto : Seorang Ayah sedang menuntun anaknya membaca Surat Yasin di Komplek Makam Massal Korban Tsunami Aceh, Kamis (26/12/2013). Riabuan warga Aceh larut dalam doa dan zikir mengenang sembilan tahun musibah gempa dan tsunami Aceh.)
 
Ridwan (55), nelayan di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh, tak pernah lupa tragedi tsunami pada Minggu pagi sembilan tahun silam. Bencana dahsyat itu membawa pergi semua anggota keluarganya untuk selamanya, termasuk istri dan tiga anaknya. Rumah, pekarangan, dan hartanya hilang tak tersisa.

”Hanya saya yang selamat karena saat itu sedang di laut mencari ikan,” ujar Ridwan saat ditemui di sebuah bangunan kosong tak jauh dari Pelabuhan Pendaratan Ikan Lampulo, Rabu (25/12) sore.
Kini Ridwan hidup sendiri. Ia tinggal di rumah bantuan, yang dibangun di bekas rumahnya yang tersapu tsunami. Ia sehari-hari bekerja sebagai buruh nelayan pada salah satu tauke atau juragan pemilik kapal boat di Kampung Nelayan Lampulo.

Sebenarnya, setelah tsunami, sekitar tahun 2007, Ridwan mendapatkan bantuan kapal boat, seperti ribuan nelayan kecil lain di Lampulo. Namun, kapal itu dijualnya dua tahun kemudian. ”Sekarang sulit bagi nelayan kecil untuk melaut. Minyak mahal. Kalah sama kapal besar,” ujarnya.

Sebagai buruh nelayan, pendapatan Ridwan tidak pasti. Jika tangkapan sepi, terutama Januari hingga April, terkadang dalam seminggu ia tak melaut sama sekali. Saat itu tauke kapal mengurangi pekerjanya.
Hal yang sama dialami Yusuf (65), nelayan di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Dia memilih menjual kapal boat bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias karena menjadi nelayan kecil tidak lagi menjanjikan. Kini ia menjadi buruh pembuatan kapal milik Mahyedin (60).

”Saat ada bantuan memang enak. Kebutuhan hidup dicukupi. Namun, setelah semua pergi, semuanya tak cukup. Tetangga saya ada yang hanya foya-foya dengan bantuan itu. Kapal dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Yusuf, yang kehilangan dua anak dan istrinya pada saat tsunami.

Nasib nelayan kecil korban tsunami di pesisir Kota Banda Aceh itu berbanding terbalik dengan gebyar di Pelabuhan Pendaratan Ikan Lampulo. Setelah tsunami, salah satu pelabuhan ikan terbesar di Aceh itu kian ramai. Kapal besar berukuran di atas 30 gros ton (GT), yang dulu sebelum tsunami, tak lebih dari 50 unit, sekarang berkembang 300 unit lebih. Kapal besar nelayan dari Idi, Tapak Tuan, dan Meulaboh kerap singgah mendaratkan ikan di pelabuhan itu.

”Jika dibandingkan dengan dulu, Lampulo sekarang jauh lebih berkembang untuk bisnis perikanan,” kata Haji Iwan (45), mantan Panglima Laot (pemimpin adat laut) Lampulo.

Kian tersisih
Pembangunan kembali infrastruktur bangunan pelabuhan serta bantuan rumpon turut mengangkat kembali pelabuhan ini. Nelayan dan pemodal dari luar Lampulo pun masuk dengan kapal besarnya.
Namun, kondisi itu diikuti dengan tersisihnya nelayan kecil dan tradisional. Saat ini, ada sekitar 350 nelayan menengah dan besar di Lampulo serta 6.000 lebih nelayan kecil yang umumnya adalah buruh nelayan tidak tetap. Banyak di antaranya yang menganggur.

Iwan menuturkan, pada masa BRR, nelayan kecil itu mendapatkan bantuan kapal boat dan alat tangkap, seperti jala, jaring, rumpon, dan pancing. Namun, bantuan itu tak disertai dengan bantuan manajerial. Akibatnya, nelayan tradisional tak mampu mengelolanya.

Persoalan lain adalah kian menyusutnya jumlah tangkapan di area pantai. Hal ini tak lepas dari hancurnya terumbu karang di pantai setelah tsunami. Padahal, kapal yang dipakai nelayan tradisional di Lampulo hanya mampu berlayar maksimal 2 mil dari pantai. Selain itu, jika sebelum tsunami kapal nelayan tradisional di Lampulo bisa hidup dengan menjadi pengangkut ikan dari kapal besar ke pantai, pola seperti itu kini tak terjadi lagi.

Tidak heran, saat ini banyak nelayan kecil di Lampulo memilih bekerja sebagai buruh dari pemilik kapal besar. Itu pun mereka harus bersaing dengan pendatang dari luar Banda Aceh, yang juga turut beradu nasib.
”Mungkin orang asli Lampulo yang bertahan sebagai nelayan pemilik kapal sekarang tinggal kurang dari 1 persen. Lainnya pendatang. Banyak yang tersisih. Padahal, warga asli ini semuanya juga korban tsunami. Kasihan mereka. Pemerintah harus memperhatikan,” kata Iwan.

Sejak tahun 2006, BRR Aceh dan Nias sebenarnya membangun sejumlah infrastruktur pendukung perikanan di area Pelabuhan Pendaratan Ikan Lampulo, seperti docking kapal, gudang penyimpanan, pengawetan, dan pengolahan ikan. Namun, bangunan itu sekarang mangkrak tak berfungsi. Akibatnya, geliat tangkapan di Lampulo belum memiliki nilai tambah bagi perekonomian sekitarnya secara signifikan.

Namun, tak semua warga pesisir korban tsunami di Banda Aceh kehilangan elan untuk bangkit dan menempuh kehidupan yang lebih baik setelah bencana besar itu. Ada di antaranya kini mampu menunjukkan diri, bisa sukses seusai bencana. Mahyedin (60), warga Desa Alue Naga, misalnya, perusahaan kapal kayu tradisionalnya mampu menembus sejumlah daerah di Aceh. Padahal, sembilan tahun silam, dia tidak menyangka bakal bisa bangkit kembali. Istri dan tiga anaknya meninggal. Pabrik kapal, rumah, dan harta bendanya hilang diterjang tsunami.

Ia kini mengajak saudara dan tetangganya belajar membuat kapal tradisional. Dia berharap mereka bisa sukses mandiri. ”Bencana dan rezeki itu kehendak Tuhan. Namun, manusia harus berusaha,” ujar dia.
sumber  Kopas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q