BANDA ACEH -
26 Desember 2004, tsunami dahsyat meluluhlantakkan pesisir Banda Aceh.
Bukan hanya puluhan ribu jiwa tewas dalam bencana itu, penghidupan
masyarakat pun hancur terkubur. Jutaan simpati dunia pun hadir,
triliunan rupiah bantuan datang. Kini, sembilan tahun berselang, ribuan
orang di pesisir Banda Aceh masih berjibaku dengan kerasnya hidup seusai
bencana.
(foto : Seorang Ayah sedang menuntun anaknya membaca Surat Yasin di Komplek
Makam Massal Korban Tsunami Aceh, Kamis (26/12/2013). Riabuan warga Aceh
larut dalam doa dan zikir mengenang sembilan tahun musibah gempa dan
tsunami Aceh.)
Ridwan (55), nelayan di Desa Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Banda
Aceh, tak pernah lupa tragedi tsunami pada Minggu pagi sembilan tahun
silam. Bencana dahsyat itu membawa pergi semua anggota keluarganya untuk
selamanya, termasuk istri dan tiga anaknya. Rumah, pekarangan, dan
hartanya hilang tak tersisa.
”Hanya saya yang selamat karena saat itu sedang di laut mencari
ikan,” ujar Ridwan saat ditemui di sebuah bangunan kosong tak jauh dari
Pelabuhan Pendaratan Ikan Lampulo, Rabu (25/12) sore.
Kini Ridwan hidup sendiri. Ia tinggal di rumah bantuan, yang dibangun
di bekas rumahnya yang tersapu tsunami. Ia sehari-hari bekerja sebagai
buruh nelayan pada salah satu tauke atau juragan pemilik kapal boat di
Kampung Nelayan Lampulo.
Sebenarnya, setelah tsunami, sekitar tahun 2007, Ridwan mendapatkan
bantuan kapal boat, seperti ribuan nelayan kecil lain di Lampulo. Namun,
kapal itu dijualnya dua tahun kemudian. ”Sekarang sulit bagi nelayan
kecil untuk melaut. Minyak mahal. Kalah sama kapal besar,” ujarnya.
Sebagai buruh nelayan, pendapatan Ridwan tidak pasti. Jika tangkapan
sepi, terutama Januari hingga April, terkadang dalam seminggu ia tak
melaut sama sekali. Saat itu tauke kapal mengurangi pekerjanya.
Hal yang sama dialami Yusuf (65), nelayan di Desa Alue Naga,
Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Dia memilih menjual
kapal boat bantuan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias
karena menjadi nelayan kecil tidak lagi menjanjikan. Kini ia menjadi
buruh pembuatan kapal milik Mahyedin (60).
”Saat ada bantuan memang enak. Kebutuhan hidup dicukupi. Namun,
setelah semua pergi, semuanya tak cukup. Tetangga saya ada yang hanya
foya-foya dengan bantuan itu. Kapal dijual untuk memenuhi kebutuhan
hidup,” ujar Yusuf, yang kehilangan dua anak dan istrinya pada saat
tsunami.
Nasib nelayan kecil korban tsunami di pesisir Kota Banda Aceh itu
berbanding terbalik dengan gebyar di Pelabuhan Pendaratan Ikan Lampulo.
Setelah tsunami, salah satu pelabuhan ikan terbesar di Aceh itu kian
ramai. Kapal besar berukuran di atas 30 gros ton (GT), yang dulu sebelum
tsunami, tak lebih dari 50 unit, sekarang berkembang 300 unit lebih.
Kapal besar nelayan dari Idi, Tapak Tuan, dan Meulaboh kerap singgah
mendaratkan ikan di pelabuhan itu.
”Jika dibandingkan dengan dulu, Lampulo sekarang jauh lebih
berkembang untuk bisnis perikanan,” kata Haji Iwan (45), mantan Panglima
Laot (pemimpin adat laut) Lampulo.
Kian tersisih
Pembangunan kembali infrastruktur bangunan pelabuhan serta bantuan
rumpon turut mengangkat kembali pelabuhan ini. Nelayan dan pemodal dari
luar Lampulo pun masuk dengan kapal besarnya.
Namun, kondisi itu diikuti dengan tersisihnya nelayan kecil dan
tradisional. Saat ini, ada sekitar 350 nelayan menengah dan besar di
Lampulo serta 6.000 lebih nelayan kecil yang umumnya adalah buruh
nelayan tidak tetap. Banyak di antaranya yang menganggur.
Iwan menuturkan, pada masa BRR, nelayan kecil itu mendapatkan bantuan
kapal boat dan alat tangkap, seperti jala, jaring, rumpon, dan pancing.
Namun, bantuan itu tak disertai dengan bantuan manajerial. Akibatnya,
nelayan tradisional tak mampu mengelolanya.
Persoalan lain adalah kian menyusutnya jumlah tangkapan di area
pantai. Hal ini tak lepas dari hancurnya terumbu karang di pantai
setelah tsunami. Padahal, kapal yang dipakai nelayan tradisional di
Lampulo hanya mampu berlayar maksimal 2 mil dari pantai. Selain itu,
jika sebelum tsunami kapal nelayan tradisional di Lampulo bisa hidup
dengan menjadi pengangkut ikan dari kapal besar ke pantai, pola seperti
itu kini tak terjadi lagi.
Tidak heran, saat ini banyak nelayan kecil di Lampulo memilih bekerja
sebagai buruh dari pemilik kapal besar. Itu pun mereka harus bersaing
dengan pendatang dari luar Banda Aceh, yang juga turut beradu nasib.
”Mungkin orang asli Lampulo yang bertahan sebagai nelayan pemilik
kapal sekarang tinggal kurang dari 1 persen. Lainnya pendatang. Banyak
yang tersisih. Padahal, warga asli ini semuanya juga korban tsunami.
Kasihan mereka. Pemerintah harus memperhatikan,” kata Iwan.
Sejak tahun 2006, BRR Aceh dan Nias sebenarnya membangun sejumlah
infrastruktur pendukung perikanan di area Pelabuhan Pendaratan Ikan
Lampulo, seperti docking kapal, gudang penyimpanan, pengawetan, dan
pengolahan ikan. Namun, bangunan itu sekarang mangkrak tak berfungsi.
Akibatnya, geliat tangkapan di Lampulo belum memiliki nilai tambah bagi
perekonomian sekitarnya secara signifikan.
Namun, tak semua warga pesisir korban tsunami di Banda Aceh
kehilangan elan untuk bangkit dan menempuh kehidupan yang lebih baik
setelah bencana besar itu. Ada di antaranya kini mampu menunjukkan diri,
bisa sukses seusai bencana. Mahyedin (60), warga Desa Alue Naga,
misalnya, perusahaan kapal kayu tradisionalnya mampu menembus sejumlah
daerah di Aceh. Padahal, sembilan tahun silam, dia tidak menyangka bakal
bisa bangkit kembali. Istri dan tiga anaknya meninggal. Pabrik kapal,
rumah, dan harta bendanya hilang diterjang tsunami.
Ia kini mengajak saudara dan tetangganya belajar membuat kapal
tradisional. Dia berharap mereka bisa sukses mandiri. ”Bencana dan
rezeki itu kehendak Tuhan. Namun, manusia harus berusaha,” ujar dia.
sumber Kopas.com
Jumat, 27 Desember 2013
Top 5 News
Contact Us | About Us | Privacy | Help | Redaksi | Info Iklan | F A Q |
Terdaftar 2013 | Lintas Aceh ® Meneruskan Informasi Terkini Seputar Aceh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar