">

Jumat, 27 Desember 2013

Menyikapi Permasalahan Aceh Pasca Pelantikan Malik Mahmud

Do you want to share?

Do you like this story?

Jakarta - Pasca pelantikan Malik Mahmud al Haytar sebagai Wali Nanggroe ke-IX yang menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat Aceh, juga diiringi dengan berbagai peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai 'alert' terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Seperti misalnya belum lama ini di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, sejumlah baliho ucapan selamat kepada Malik Mahmud menjadi Wali Nanggroe telah dirusak oleh orang tidak dikenal (OTK).

Baliho yang dirusak tersebut antara lain satu baliho di Simpang Pelor depan Kantor DPRK Aceh Barat, satu baliho di Jl. Singgamata, Kecamatan Johan Pahlawan, dan dua baliho di ruas Jl Meulaboh Tapaktuan, Desa Ujung Drien, Kecamatan Meureubo. Kondisi baliho tersebut telah terurai jatuh ke tanah, namun tidak ada pihak yang melaporkan atau merasa dirugikan dengan kondisi 4 baliho rusak tersebut.

Sementara itu, di Banda Aceh, mantan Bupati Bener Meriah menilai kegiatan pengukuhan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe oleh DPRA merupakan bentuk pembangkangan dari kelompok penguasa Aceh. Pemerintah Aceh memaksakan kehendaknya untuk mengukuhkan Wali Nanggroe, padahal Wali Nanggroe itu merupakan pendiskriminasian suku lain yang ada di Aceh. Solusi terbaik dari diskriminasi atas Pemerintah Aceh bagi rakyat Leuser Antara adalah mendesak Pemerintah Pusat mengesahkan pembentukan Provinsi Leuser Antara.

Sedangkan salah seorang Ketua PETA Aceh Tengah menolak Wali Nanggroe dengan alasan apapun, dan pengesahan qanun dan pengukuhan Wali Nanggroe membuka peluang konflik baru di Aceh karena tidak aspiratif dan memecah persatuan kesatuan rakyat Aceh. Pendapat hampir senada dikemukakan seorang aktivis Gayo Merdeka juga menolak Wali Nanggroe, karena dinilai belum dapat mewakili seluruh komponen masyarakat Aceh. Pihaknya akan terus mengkampanyekan menolak Wali Nanggroe tersebut, dan menyarankan Pemerintah Aceh merelakan Aceh Leuser Antara (ALA) pisah dari Aceh.

Sementara itu, aktivis JKSA menyatakan tidak setuju Malik Mahmud menjadi Wali Nanggroe, karena orang yang memangku jabatan Wali Nanggroe harus jelas asal usulnya dan dipilih oleh ulama Aceh. Selain itu Malik Mahmud belum memenuhi kriteria sebagai Wali Nanggroe.

Sementara itu, sebuah pameran yang mendiskripsikan bagaimana kondisi Aceh yang tidak makmur-makmur pasca dipimpin mantan petinggi GAM sebagai kepala daerah juga berlangsung pada 17 Desember 2013 di depan Gedung DPR Aceh, berlangsung pameran foto kemiskinan di Aceh yang diselenggarakan oleh BEM Fisip dan BEM Hukum Unsyiah. Pameran foto tersebut merupakan kelanjutan dari seminar evaluasi Pemerintah Aceh yang dilaksanakan pada 14 September 2013 di Aula Hukum Unsyiah. Menurut salah seorang Koordinator Aksi, dalam refleksi akhir tahun, sejumlah kegiatan digelar, seperti seminar, pameran foto, dan di penghujung tahun juga akan membuat sidang paripurna versi mahasiswa, yang nantinya sidang paripurna itu akan memutuskan layak atau tidaknya Pemerintahan Zikir (Gubernur Zaini Abdullah dan Wagub Muzakir Manaf).

Sejauh ini berdasarkan pengamatan mahasiswa, Pemerintahan Zikir masih belum mampu mengelola anggaran Rp 12 triliun lebih secara benar. Anggaran tersebut habis untuk hal yang simbolik seperti bendera dan lambang Aceh serta Wali Nanggroe. Seharusnya anggaran sebesar itu sudah dapat menyejahterakan masyarakat Aceh. Data dari Bappeda Aceh, pada Agustus 2013 serapan APBA dipersentasekan hanya 16%, dan di penghujung tahun ini serapan anggaran juga belum sepenuhnya tepat penggunaanya.

Jangan Paranoid Menghadapi Aceh

Terkait perusakan baliho Wali Nanggroe di berbagai kawasan di Aceh Barat, penulis menilai, kawasan Aceh Barat ini memang tempat tinggal banyak suku Aceh yang berasal dari daerah Barat dan Barat Daya Gunung Leuser, yang umumnya menentang peresmian dan pelantikan jabatan Wali Nanggroe yang menetapkan Malik Mahmud sebagai pejabatnya. Perusakan ini diduga kuat dilakukan oleh oleh kelompok suku Aceh yang tidak berasal satu wilayah yang sama dengan Malik Mahmud, baik yang dilakukan dengan kesadaran politik yang benar atau karena “disuruh” kekuatan yang lainnya.

Sedangkan terkait dengan reaksi menolak Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe, penulis menganalisis bahwa reaksi menolak keberadaan jabatan Wali Naggroe dan tokoh yang ditunjuk yaitu Malik Mahmud nampaknya lebih diwarnai rivalitas kedaerahan yang sudah lama ada, yaitu antara daerah Pantai Timur dan daerah sebelah barat dan Barat Daya Gunung Leuser yang ingin berdiri sebagai Provinsi tersendiri terpisah dari Provini Aceh.

Peresmian dan pelantikan Malik Mahmud sebagai Wali Naggroe nampaknya telah mendorong munculnya kembali gagasan pemisahan diri tersebut, apakah sekali lagi karena kesadaran politik yang tinggi ataukah ada faktor-faktor lainnya. Penulis menggarisbawahi bahwa sedemikian jauh latar belakang konsepsi pembentukan Wali Nanggroe yang lebih mengarah sebagai benang merah semangat perjuangan GAM, tidak muncul. Oleh karena itu, janganlah paranoid menghadapi permasalahan di Aceh.

Sementara itu, kritikan kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) terhadap Pemerintahan Zikir, tampaknya sebagai refleksi akhir tahun untuk mengevaluasi pembangunan Provinsi Aceh dan mengkritisi berbagai kepincangan penggunan anggaran Provinsi Aceh nampak sikap yang lebih bersifat introspeksi atas kedewasaan kepemimpinan daerah Aceh yang terasa berwatak boros dan menghambur hamburkan uang, kurang mampu memilih aktivitas yang lebih berrmanfaat kepada daerah. Sikap-siap kritis semacam ini secara politis justru positif, karena dapat menjauhkan mereka dari pandangan seolah olah kesejahteraan rakyat Aceh harus ditempuh melalui konsepsi separatisme.

Menurut mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN, red), Letjen Purn Haji Soedibyo, harus ada program yang mengarah membawa para generasi baru Aceh bisa melihat permasalahan masa depan Aceh dari perspektifyang benar perlu diintensifkan. Sudah sejak lama diingatkan agar terhadap dua daerah yang rawan secara politis, yaitu Aceh dan Papua perlu ada Forum Penanganan Pembinan yang khusus di tingkat Pusat, berupa Forum Interdep, sebagai cerminan kebijaksanan bahwa masalah Aceh dan Papua bukan hanya menjadi problema sektor politik, pertahananan dan keamanan tetapi problema seluruh sektor pemerintahan.

*) Otjih Sewandarijatun adalah peneliti senior di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta. Alumnus Universitas Udayana, Bali.

sumber : DetikNews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q