Jakarta - Pasca pelantikan Malik Mahmud al Haytar
sebagai Wali Nanggroe ke-IX yang menimbulkan pro dan kontra di tengah
masyarakat Aceh, juga diiringi dengan berbagai peristiwa yang dapat
dikategorikan sebagai 'alert' terhadap perkembangan demokrasi di
Indonesia. Seperti misalnya belum lama ini di Meulaboh, Kabupaten Aceh
Barat, sejumlah baliho ucapan selamat kepada Malik Mahmud menjadi Wali
Nanggroe telah dirusak oleh orang tidak dikenal (OTK).
Baliho
yang dirusak tersebut antara lain satu baliho di Simpang Pelor depan
Kantor DPRK Aceh Barat, satu baliho di Jl. Singgamata, Kecamatan Johan
Pahlawan, dan dua baliho di ruas Jl Meulaboh Tapaktuan, Desa Ujung
Drien, Kecamatan Meureubo. Kondisi baliho tersebut telah terurai jatuh
ke tanah, namun tidak ada pihak yang melaporkan atau merasa dirugikan
dengan kondisi 4 baliho rusak tersebut.
Sementara itu, di Banda
Aceh, mantan Bupati Bener Meriah menilai kegiatan pengukuhan Malik
Mahmud sebagai Wali Nanggroe oleh DPRA merupakan bentuk pembangkangan
dari kelompok penguasa Aceh. Pemerintah Aceh memaksakan kehendaknya
untuk mengukuhkan Wali Nanggroe, padahal Wali Nanggroe itu merupakan
pendiskriminasian suku lain yang ada di Aceh. Solusi terbaik dari
diskriminasi atas Pemerintah Aceh bagi rakyat Leuser Antara adalah
mendesak Pemerintah Pusat mengesahkan pembentukan Provinsi Leuser
Antara.
Sedangkan salah seorang Ketua PETA Aceh Tengah menolak
Wali Nanggroe dengan alasan apapun, dan pengesahan qanun dan pengukuhan
Wali Nanggroe membuka peluang konflik baru di Aceh karena tidak
aspiratif dan memecah persatuan kesatuan rakyat Aceh. Pendapat hampir
senada dikemukakan seorang aktivis Gayo Merdeka juga menolak Wali
Nanggroe, karena dinilai belum dapat mewakili seluruh komponen
masyarakat Aceh. Pihaknya akan terus mengkampanyekan menolak Wali
Nanggroe tersebut, dan menyarankan Pemerintah Aceh merelakan Aceh Leuser
Antara (ALA) pisah dari Aceh.
Sementara itu, aktivis JKSA
menyatakan tidak setuju Malik Mahmud menjadi Wali Nanggroe, karena orang
yang memangku jabatan Wali Nanggroe harus jelas asal usulnya dan
dipilih oleh ulama Aceh. Selain itu Malik Mahmud belum memenuhi kriteria
sebagai Wali Nanggroe.
Sementara itu, sebuah pameran yang
mendiskripsikan bagaimana kondisi Aceh yang tidak makmur-makmur pasca
dipimpin mantan petinggi GAM sebagai kepala daerah juga berlangsung pada
17 Desember 2013 di depan Gedung DPR Aceh, berlangsung pameran foto
kemiskinan di Aceh yang diselenggarakan oleh BEM Fisip dan BEM Hukum
Unsyiah. Pameran foto tersebut merupakan kelanjutan dari seminar
evaluasi Pemerintah Aceh yang dilaksanakan pada 14 September 2013 di
Aula Hukum Unsyiah. Menurut salah seorang Koordinator Aksi, dalam
refleksi akhir tahun, sejumlah kegiatan digelar, seperti seminar,
pameran foto, dan di penghujung tahun juga akan membuat sidang paripurna
versi mahasiswa, yang nantinya sidang paripurna itu akan memutuskan
layak atau tidaknya Pemerintahan Zikir (Gubernur Zaini Abdullah dan
Wagub Muzakir Manaf).
Sejauh ini berdasarkan pengamatan
mahasiswa, Pemerintahan Zikir masih belum mampu mengelola anggaran Rp 12
triliun lebih secara benar. Anggaran tersebut habis untuk hal yang
simbolik seperti bendera dan lambang Aceh serta Wali Nanggroe.
Seharusnya anggaran sebesar itu sudah dapat menyejahterakan masyarakat
Aceh. Data dari Bappeda Aceh, pada Agustus 2013 serapan APBA
dipersentasekan hanya 16%, dan di penghujung tahun ini serapan anggaran
juga belum sepenuhnya tepat penggunaanya.
Jangan Paranoid Menghadapi Aceh
Terkait
perusakan baliho Wali Nanggroe di berbagai kawasan di Aceh Barat,
penulis menilai, kawasan Aceh Barat ini memang tempat tinggal banyak
suku Aceh yang berasal dari daerah Barat dan Barat Daya Gunung Leuser,
yang umumnya menentang peresmian dan pelantikan jabatan Wali Nanggroe
yang menetapkan Malik Mahmud sebagai pejabatnya. Perusakan ini diduga
kuat dilakukan oleh oleh kelompok suku Aceh yang tidak berasal satu
wilayah yang sama dengan Malik Mahmud, baik yang dilakukan dengan
kesadaran politik yang benar atau karena “disuruh” kekuatan yang
lainnya.
Sedangkan terkait dengan reaksi menolak Malik Mahmud
sebagai Wali Nanggroe, penulis menganalisis bahwa reaksi menolak
keberadaan jabatan Wali Naggroe dan tokoh yang ditunjuk yaitu Malik
Mahmud nampaknya lebih diwarnai rivalitas kedaerahan yang sudah lama
ada, yaitu antara daerah Pantai Timur dan daerah sebelah barat dan Barat
Daya Gunung Leuser yang ingin berdiri sebagai Provinsi tersendiri
terpisah dari Provini Aceh.
Peresmian dan pelantikan Malik
Mahmud sebagai Wali Naggroe nampaknya telah mendorong munculnya kembali
gagasan pemisahan diri tersebut, apakah sekali lagi karena kesadaran
politik yang tinggi ataukah ada faktor-faktor lainnya. Penulis
menggarisbawahi bahwa sedemikian jauh latar belakang konsepsi
pembentukan Wali Nanggroe yang lebih mengarah sebagai benang merah
semangat perjuangan GAM, tidak muncul. Oleh karena itu, janganlah
paranoid menghadapi permasalahan di Aceh.
Sementara itu, kritikan
kalangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) terhadap Pemerintahan Zikir,
tampaknya sebagai refleksi akhir tahun untuk mengevaluasi pembangunan
Provinsi Aceh dan mengkritisi berbagai kepincangan penggunan anggaran
Provinsi Aceh nampak sikap yang lebih bersifat introspeksi atas
kedewasaan kepemimpinan daerah Aceh yang terasa berwatak boros dan
menghambur hamburkan uang, kurang mampu memilih aktivitas yang lebih
berrmanfaat kepada daerah. Sikap-siap kritis semacam ini secara politis
justru positif, karena dapat menjauhkan mereka dari pandangan seolah
olah kesejahteraan rakyat Aceh harus ditempuh melalui konsepsi
separatisme.
Menurut mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen
Negara (BAKIN, red), Letjen Purn Haji Soedibyo, harus ada program yang
mengarah membawa para generasi baru Aceh bisa melihat permasalahan masa
depan Aceh dari perspektifyang benar perlu diintensifkan. Sudah sejak
lama diingatkan agar terhadap dua daerah yang rawan secara politis,
yaitu Aceh dan Papua perlu ada Forum Penanganan Pembinan yang khusus di
tingkat Pusat, berupa Forum Interdep, sebagai cerminan kebijaksanan
bahwa masalah Aceh dan Papua bukan hanya menjadi problema sektor
politik, pertahananan dan keamanan tetapi problema seluruh sektor
pemerintahan.
*) Otjih Sewandarijatun adalah peneliti senior di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta. Alumnus Universitas Udayana, Bali.
sumber : DetikNews.com
Top 5 News
Contact Us | About Us | Privacy | Help | Redaksi | Info Iklan | F A Q |
Terdaftar 2013 | Lintas Aceh ® Meneruskan Informasi Terkini Seputar Aceh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar