">

Sabtu, 03 Agustus 2013

Soal Bendera Aceh, PP 77 Tahun 2007 Multi Tafsir, Berpeluang Digugat

Do you want to share?

Do you like this story?

Jum'at 02 August 2013

Lhokseumawe | Klaim Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal Zahari Siregar di Banda Aceh, Selasa 20 November 2012 tentang bendera Aceh dinilai sebagai lambang dan bendera separatis yang melanggar PP No 77 Tahun 2007 hingga mengancam akan menurunkan bila ada pengibaran bendera pada 15 Agustus 2013, nantinya.



Pernyataan tegas Pangdam itu seperti yang dilansir Waspada, Selasa, 30 Juli 2013, lalu terwujut pada Jum’at, 2 Agustus 2013, dini hari, aparat gabungan dari unsur TNI dan Polri melakukan aksi penurunan bendera Aceh sebagian wilayah Kota Lhokseumawe dan dilarang untuk diliput. “ada izin foto-foto” Ucap aparat berseragam preman, dini hari tadi dilokasi.

Menurut informasi yang dihimpun acehtraffic.com menyebutkan penurunan bendera Aceh merupakan hasil rapat Muspida Aceh baru ini. Usai buka puasa bersama, di Pendopo Gubernur Aceh Senin 29 Juli 2013, Pangdam mengatakan bahwa Gubernur Aceh telah menyanggupi persoalan itu dan bahkan Gubernur menampik telah memerintahkan untuk mengibarkan bendera tersebut.

“Kata Gubernur waktu itu di depan Kapolda Aceh juga bahwa tidak ada perintah dari Pemerintah Aceh menaikkan bendera bulan bintang, kalau pun ada yang menaikkan itu oknum tertentu yang mengatasnamakan Pemerintah Aceh,” Kata Pangdam seperti yang dilansir Acehterkini.com.

Sikap tidak gubernur Aceh seakan malu mengatakan seperti yang terjadi dilapangan mantan anggota GAM yang tergabung dalam KPA dan Partai Aceh actor utama yang mensupport pengibaran bendera bintang bulan.

“Bendera ini diberikan oleh anggota KPA disuruh naikkan didepan warung, yang diambil dari tempat jahit sudah dibayar oleh rekan-rekan partai Aceh” Kata warga Lhokseumawe.

Partai berkuasa memainkan peran dilapangan untuk menaikkan bendera bintang bulan, sementara pimpinannya menapik peranan bawahannya tersebut. “tidak ada perintah dari Pemerintah Aceh menaikkan bendera bulan bintang, kalau pun ada yang menaikkan itu oknum tertentu yang mengatasnamakan Pemerintah Aceh” Kata Zaini Abdullah.

Masyarakat kelihatan bingung bahkan marah atas sikap politik linglung partai berkuasa soal bendera bintang bulan ini. Pemerintah Aceh memilih bungkam atas persetujuan pembersihan bendera bintang bulan yang berkibar di Aceh dalam rapat muspida baru-baru ini di Banda Aceh, yang dikira sebagai cercaan karena menelan ludah sendiri (peulop lam gon droe) dan bisa mempengaruhi citra dalam pemilu 2014 nantinya.

Kisruh bendera bermula atas aspirasi mahasiswa yang diabaikan saat penggagasan Qanun Wali Nanggroe, etnis minoritas Gayo merasa pendapatnya ditolak tanpa ditimbang dan ditentang oleh parlemen berkuasa.

Gayo Merdeka yang terdiri dari para mahasiswa muncul dan menolak Qanun bendera sebagai bentuk kekecewaan atas perlakuan partai berkuasa yang bersikeras membuat dan menetapkan Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe.

Setelah Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan Qanun (setara Perda) tentang Bendera dan Lambang Aceh pada Jumat, 22 Maret 2013, lansung di respon eforia oleh anak-anak muda di Kota Lhokseumawe dengan berkonvoi mengarak bendera mengelilingi Kota, Senin 25 Maret 2013.

Kisruh dan perdebatan terus berlanjut, ada yang mendukung ada yang menolak, ada juga yang memilih diam. Yang mendukung umunya orang kampung yang awam, orang dekat dengan kekuasaan dan orang KPA. Yang menolak kelihatan dari ALA yang sebagai alasan ingin merdeka (pemekaran provinsi). Sementara yang diam kebanyakn orang yang paham, tidak bersikap karena serba salah, “tadukung penteng, gol bendera nyan raya su awak PA” Kata warga.

Perdebatan dengan berbagai argument terus berubah hingga pada tudingan lambang GAM separatis oleh Pangdam. Seperti yang dilansir Kompas.com.

Dimana Pemerintah Aceh diminta tidak menggunakan bendera dan lambang separatis GAM sebagai bendera dan lambang Aceh. Selain bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah, penggunaan atribut GAM tak relevan dengan fakta bahwa Aceh merupakan bagian dari NKRI. Selasa 20 November 2012.

Pernyataan Zahari itu menanggapi rencana Pemerintah Aceh menetapkan bendera dan lambang GAM sebagai bendera dan lambang Aceh. Zahari mengatakan, bendera dan lambang daerah harus tetap mengacu kepada peraturan yang ada, khususnya dalam PP Nomor 77 Tahun 2007.

Menurut Zahari Siregar, dalam Pasal Bab IV, Pasal 6 Ayat (4) PP tersebut disebutkan, desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau organisasi/perkumpulan/lembaga/gerakan separatis dalam NKRI.

"Artinya, kalau lambang dan bendera itu nilainya separatis, itu tak bisalah. Dia melanggar aturan PP 77 Tahun 2007 itu. Maka terpaksa kami larang," kata Zahari.

Menempatkan lambang dan bendera yang pernah dipakai oleh GAM adalah sesuatu yang tidak relevan. Pasalnya, Aceh saat ini masih menjadi bagian dari NKRI. "Berarti, (bendera dan lambang Aceh) tidak melambangkan Aceh seutuhnya di bawah naungan NKRI," lanjut dia.

Sehingga rencana pengibaran bendera Bulan Bintang pada tanggal 15 Agustus 2013 di Aceh ditentang keras oleh Pangdam Iskandar Muda itu. Secara tegas dia mengatakan di Aceh tidak perlu adanya pengibaran bendera yang mirip dengan bendera separtis GAM tersebut.

"Tidak perlu dikibarkan sejak mulai 15 Agustus sampai setelah itu, apa lagi 17 Agustus," kata Mayjen Zahari Siregar, Senin 29 Juli 2013 usai buka puasa bersama di Pendopo Gubernur Aceh di Banda Aceh.

Saat dipertegas tindakan apa yang akan diambil bila ada bendera bulan bintang berkibar. Zahari mengatakan akan memerintahkan pasukan untuk menurunkan bendera tersebut. "Kalau ada yang berkibar, akan kita turunkan," tukasnya.

Zahari menambahkan, Gubernur Aceh menampik telah memerintahkan untuk mengibarkan bendera tersebut. "Kata Gubernur waktu itu di depan Polda Aceh juga, tidak ada perintah dari Pemerintah Aceh menaikkan bendera bulan bintang, kalau pun ada yang menaikkan itu oknum tertentu yang mengatasnamakan Pemerintah Aceh," tuturnya.

Namun argument Pangdam berbeda dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi. Akhil Mochtar menegaskan qanun yang mengatur bendera dan lambang daerah Aceh sah menurut Undang-Undang Dasar 1945. Dia mengatakan kewenangan qanun sebagai peraturan daerah juga diakui oleh UUD. "Sebenarnya ini tidak perlu dipermasalahkan lagi," kata Akhil. seperti dilasir Tempo.co.

Ketua MK Akhil menjelaskan, Gubernur Aceh Zaini Abdullah berkonsultasi terhadap pelaksanaan Undang-Undang pemerintahan daerah Aceh yang juga memberi kewenangan kepada mereka menerbitkan qanun. Dalam konteks konstitusi, kata Akhil, memang dalam UUD negara telah mengatur dan mengakui satuan-satuan daerah yang besifat khusus. "Itu sudah ada dalam UUD," kata dia pada Selasa, 30 April 2013.

Dia menegaskan UUD ini juga yang memicu lahirnya daerah khusus ibu kota, daerah istimewa dan juga daerah otonomi khusus. Undang-undang Dasar kata dia lagi, menyebutkan bendera adalah merah putih, bahasa adalah indonesia, dan lambang negara adalah garuda. Dalam konteks kedaulatan negara itu sudah jelas. "Dalam pandangan kita itu tidak ada masalah,". kata dia.

Jika kemudian muncul bendera daerah, dia melanjutkan, itu juga sudah jelas dalam konstitusi. Boleh saja karena dalam UU daerah Aceh juga disebutkan ada kewenangan kepada daerah Aceh untuk membuat lambang daerahnya. "Secara prosedural itu tak ada masalahnya," ujarnya.

Hanya saja, kata Akhil, yang menjadi masalahnya barangkali substansi di lapangannya. Ada kecemasan nantinya bendera dan lambang daerah Aceh ini akan menjadi pemicu keretakan kedaulatan negara. Menurut dia, ini hal substansial yang perlu dibicarakan secara mendalam antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Aceh. "Visinya yang harus disamakan," katanya.

Selain itu, qanun bendera disetujui secara aklamasi oleh DPRA. Di dalam DPRA itu, tidak hanya ada Partai Aceh. Semua perwakilan partai ada saat pembentukan qanun seperti Partai Demokrat, Golkar, dan partai nasional lainnya.

Jika merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 77 tahun 2007, kata Akil, kecenderungan gerakan separatis dalam bendera dan lambang Aceh sebenarnya tidak jelas. PP itu tidak menunjuk separatis tertentu. Jika yang dimaksud adalah GAM, pembacaan terhadap PP ini salah. Sebab sudah ada MoU Helsinki yang memuat perjanjian damai antara GAM dan Pemerintah. "Harusnya PP itu menjelaskan separatis seperti apa, misalnya OPM atau RMS," katanya seperti ditulis Tempo.

Ketua MK juga menyinggung persolan PP 77 tahun 2007. Akil menyebutkan seharusnya pembuatan PP 77 tahun 2007 itu harus memperhatikan aturan yang lebih tinggi diatasnya. Termasuk, kepada UUD 1945 dan juga Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

“PP tersebut harus jelas cantolannya. Setiap aturan harus ada perintah di atasnya. UUPA merupakan aturan yang lebih tinggi dari PP itu. Jadi jika tidak relevan yang tidak dapat diterapkan untuk Aceh,” kata Muzakkir A Hamid mengutip kata Ketua MK, Akil Mochtar seperti dilansir atjehpost.

Jika dilihat dari UUD 1945, kata dia, PP tersebut juga telah melanggar klausul pasal 8 B yang mengakui daerah-daerah kekhususan di Indonesia termasuk Aceh.

Merujuk pada pernyataan Ketua MK, maka PP tersebut berpeluang bisa digugat atau diuji materi ke MK karena multi interprestasi hukum dalam menterjemahkan separatis dialamatkan untuk GAM.

Sumber : Atjehnish Service History For Generation
Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q