Isu pemerintahan termasuk masalah besar bangsa ini. Pertama, sesungguhnya pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya.
Seolah telah menjadi sunatullah, bahwa pemimpin yang ditunjuk untuk mengatur suatu golongan rakyat, sifatnya tidak jauh dari rakyatnya sendiri. Karena pada awalnya setiap pemimpin adalah rakyat, yang kemudian dia ditunjuk untuk mengurusi masyarakatnya.
Oleh karena itu, jika kita berharap ingin memiliki pemimpin yang baik, maka jadilah dulu rakyat yang baik. Sebaliknya, ketika umumnya rakyat adalah masyarakat yang “cacat mental”, hampir bisa dipastikan, pemimpinnya tidak jauh dari sifat-sifat itu.
Untuk itu, boleh saja Anda mengatakan: ‘wajar saja banyak petinggi yang korup, karena memang rakyatnya juga suka korup, makan harta haram dan riba’
Allah berfirman :
"Demikianlah kami jadikan sebagaian orang zalim sebagai pemimpin bagi orang zalim yang lain, disebabkan perbuatan maksiat yang telah mereka lakukan.” (Al-Qur'an, Surat Al-An’am, Ayat 29).
Mari kita perhatikan, sebab utama Allah menunjuk orang zalim sebagai pemimpin adalah perbuatan maksiat yang pernah dilakukan oleh rakyatnya. Karena sejatinya, perbuatan maksiat termasuk bentuk kezaliman.
Mengapa Harus Pemimpin yang Zalim?
Ya, keberadaan pemimpn zalim yang menguasai urusan mereka, akan menjadi hukuman dunia bagi rakyatnya yang juga telah melakukan kezaliman dengan berbagai maksiat.
Dari sinilah para ulama mengatakan :
“Sebagaimana kondisi kalian, maka seperti itulah pemimpin yang akan mengatur kalian. Pemimpin kalian itu sesuai dengan amal kalian.”
Keterangan ini diriwayatkan al-Qudhai dalam Musnad asy-Syihab dari Hasan al-Basri, dari Abu Bakrah al-Anshari, secara marfu’ (dengan mencantumkan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Namun yang benar, ini bukan sabda Nabi SAW, sebagaimana keterangan as-Sakhawi dalam al-Maqasid al-Hasanah.
Kalimat ini benar secara makna, meskipun bukan sabda Nabi SAW. Disamping itu, dikuatkan oleh beberapa dalil lainnya.
Diriwayatkan al-Baihaqi dari Ka’b al-Akhbar, beliau mengatakan :
“Sesungguhnya di setiap zaman ada pemimpin yang Allah tunjuk sesuai dengan keadaan hati masyarakatnya. Jika Allah hendak memperbaiki masyarakat ini, maka Allah tunjuk pemimpin yang baik. Dan jika Allah hendak membinasakan mereka, Allah tunjuk pemimpin yang zalim. (Syuabul Iman Al-Baihaqi, 9:491).
Ibnul Qoyim dalam Miftah Dar As-Sa’adah mengatakan :
“Renungkanlah hikmah Allah SWT, dimana Dia menjadikan pengusaha para hamba-Nya, pemimpin mereka, yang sejenis dengan amal perbuatan mereka. Bahkan amal perbuatan mereka, nampak dalam sikap pemimpin dan penguasa mereka. Jika para hamba bisa istiqamah, maka pemimpin mereka akan istiqamah, sebaliknya, jika mereka menyimpang maka pemimpin mereka juga akan menyimpang. Jika mereka berbuat zalim, pemimpin mereka juga berbuat zalim, jika rakyat suka menipu maka pemimpin mereka juga sama. Jika rakyat tidak mau menyerahkan hak-hak Allah yang menjadi kewajiban mereka, maka pemimpin akan menghalangi mereka untuk mendapatkan hak rakyat dan bersikap bakhil terhadap rakyat…” (Miftah Dar as-Sa’adah, 1:253).
Saatnya memulai perbaikan dari diri kita masing-masing. Jika kita berharap memiliki pemimpin yang bebas korupsi, bebas kezaliman, perhatian terhadap rakyat kecil, aspiratif, berupaya mewujudkan syariat Islam, dan sejumlah harapan lainnya, maka hadapkan satu pertanyaan untuk diri kita. Sudahkah kita melakukan hal itu secara pribadi?
Kedua, perbanyak memohon kepada Allah, agar Dia memberi hidayah dan taufiq kepada para pemimpin kita.
Kebiasaan semacam ini telah menjadi ciri ahlus sunah sejak masa silam. Meskipun bisa jadi ada pemimpin mereka yang zalim, mereka tetap berusaha untuk tetap mendo'akan kebaikan bagi para pemimpinnya.
Imam al-Barbahari mengatakan:
“Jika Anda melihat ada orang yang mendoakan keburukan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu (aqidahnya menyimpang). Dan jika Anda melihat ada orang yang mendoakan kebaikan untuk pemimpin, ketahuilah bahwa dia Ahlus Sunah, Insya Allah.” (Syarh as-Sunnah, Hal. 51).
Selanjutnya, al-Barbahari membawakan riwayat perkataan seorang ulama besar, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, yang memberikan nasihat:
“Andaikan saya memiliki satu doa yang pasti terkabulkan, tidak akan aku ucapkan kecuali untuk mendoakan kebaikan pemimpin.”
Kemudian ada orang yang bertanya, mengapa harus demikian? Beliau menjawab:
“Jika doa itu hanya untuk diriku, tidak akan kembali kepadaku. Namun jika doa itu aku panjatkan untuk kebaikan pemimpin, kemudian dia menjadi baik, maka masyarakat dan negara akan menjadi baik. Kita diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka, dan kita tidak diperintahkan untuk mendoakan keburukan bagi mereka, meskipun mereka zalim. Karena kezaliman mereka akan ditanggung mereka sendiri, sementara kebaikan mereka akan kembali untuk mereka dan kaum muslimin.” (Syarh as-Sunnah, Hal. 51).
Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar