10 Tahun Tsunami.
Aceh - Ribuan warga Aceh yang mengalami gangguan jiwa pasca tsunami belum bisa tertangani karena minimnya jumlah psikiater.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, ada 18.000 orang pasien jiwa dan baru separuhnya yang bisa ditangani.
“Banyak
pasien yang membutuhkan long-acting obat dan obat long acting yang ada
ini masa expired nya rendah. Untuk puskesmas dan rumah sakit yang ada
layanan darurat kejiwaan punya obat dan dimaintain. Tapi yang lain,
sekitar 14 rumah sakit tidak punya,” kata Kepala Dinas Kesehatan Aceh,
dr. Ahmad Yani.
Dinas Kesehatan Aceh memiliki program bernama
Konseling Trauma dengan menggandeng sejumlah lembawa swadaya masyarakat
dan universitas seperti Universitas Gadjah Mada dan Universitas
Indonesia.
“Kami mengakui program kami tidak bisa menaungi semua
pasien yang membutuhkan karena minimnya tenaga perawat terlatih dan
psikiater.
Bagi banyak warga Aceh yang selamat dari bencana itu, ingatan akan peristiwa itu sulit dilupakan.
Salah
satu saksi hidup tsunami adalah Nurlena, seorang mantan pelatih tinju
di Pelatnas yang kini memimpin sebuah sekolah dasar negeri di Banda
Aceh. Ia kehilangan anak perempuan berusia 10 tahun, orang tua dan kakak
serta adiknya dalam tsunami.
“Saat itu saya sedang menjadi juri
lomba lari 10k di Banda Aceh waktu gempa terjadi tapi saya tetap di
lokasi karena tak ada yang menyangka akan ada tsunami. Tiba-tiba ada
teriakan ‘Air naik, air naik!’ dan ketika saya tengok, air sudah
mendekat setinggi pohon kelapa, saya tarik teman saya tapi air keburu
datang dan saya terhempas. Teman saya tak bisa diselamatkan,” kata
Nurlena .
Belakangan ia baru tahu bahwa satu dari dua anaknya hilang bersama segenap keluarga yang lain.
Trauma besar
Pengalaman
menghadapi peristiwa ekstrem seperti itu bisa menimbulkan luka batin
dan trauma baik yang sifatnya datang seketika mau pun baru timbul di
kemudian hari, menurut psikolog Nurjanah Nurita dari lembaga Psikodista
Banda Aceh.
“Tsunami, konflik, gempa bumi, longsor termasuk
trauma besar dan tentunya trauma ini menimbulkan dampak khusus. Trauma
besar menimbulkan short term dan long term… yang short term misalnya
susah tidur dan cemas kalau long term misalnya depresi atau ada
pencetusnya sehinggga trauma yang awalnya tidak terlihat tiba-tiba
muncul,” kata Nurjanah.
Menurut Nurjanah, periode 10 tahun secara teori seharusnya bisa mengobati luka-luka batin korban tsunami.
“Itu
indikator bahwa program rehabilitasi trauma belum tuntas karena jujur
saya lihat setelah tsunami banyak yang terpapar sehingga penanganan satu
lokasi dengan lokasi lain berbeda, karena yang menangani berbeda,
metodenya berbeda tentunya hasilnya juga beda-beda,” tambahnya.
Penyembuhan
trauma tsunami bagi sebagian korban akhirnya menjadi suatu proses yang
mereka lakukan sendiri, biasanya melalui pendekatan keagamaan. Sedangkan
Nurlena menjadikan pengalaman itu sebagai momentum untuk menjadikan
dirinya lebih berguna dengan terjun ke masyarakat dan mengabdikan diri
di dunia pendidikan.
“Tak ada lagi yang kita cari di dunia ini
selain berbuat baik dan mensyukuri apa yang ada. Alhamdulillah sekarang
saya tinggal di rumah bantuan BRR dan itu sudah cukup, sekarang saya
hanya ingin mengabdi dan memajukan pendidikan di Aceh,” kata Nurlena.
sumber : detiknews
Sabtu, 27 Desember 2014
Top 5 News
Contact Us | About Us | Privacy | Help | Redaksi | Info Iklan | F A Q |
Terdaftar 2013 | Lintas Aceh ® Meneruskan Informasi Terkini Seputar Aceh |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar