">

Senin, 03 Maret 2014

SBY Gak Bakal Bisa Bereskan Aceh

Do you want to share?

Do you like this story?

A.P. Batubara
* Presiden SBY tidak bakal bisa menyelesaikan masalah yang sekarang terjadi di Aceh. Selain Aceh sudah seperti negara bagian yang bukan NKRI, sikap SBY sendiri tidak tegas.

Hal ini dipaparkan sesepuh Dewan Pertimbangan Pusat (Deperpu) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), AP Batubara, Selasa (17/1/2012). “Kalau Aceh masuk NKRI,
setiap pengacau keamanan harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku. Kalau saya presiden, akan saya tindak tegas. Tapi kenapa SBY tidak,” tegas tokoh senior PDIP.  “SBY tidak berani bicara tegas dan menertibkan tindakan-tindakan yang sepihak di Aceh.”

Diungkapkan, menjelang pemilukada sekarang, GAM pecah dua. “Gubernur sekarang orang GAM. Tapi GAM yang satu lagi anti gubernur, sehingga kacau. GAM itu masih memegang banyak senjata. Menko Polkam dan Kapolri tidak punya kekuatan untuk menyelesaikan Aceh. Aceh sekarang itu seperti api dalam sekam, tinggal selangkah lagi bisa lepas dari NKRI. Kalau de jure, Aceh NKRI. Tapi de facto, Aceh negara bagian. Di sana sudah ada dua bendera berkibar, Merah Putih dan GAM,” kata AP, sapaan akrab AP Batubara.

AP menyesalkan saat perjanjian Hesinki antara Pemerintah RI dengan pihak GAM dulu, langsung ditandatangai SBY sebagai Menko Polkam tanpa persetujuan Presiden Megawati saat itu. “Mestinya SBY harus lapor dulu ke Jakarta, minta petunjuk Presiden Mega. Tapi SBY langsung mendandatangani atasnama pemerintah, sehingga Presiden Mega saat itu tidak bisa berbaut apa-apa,” ungkap Pnasihat politik Megawati Soekarnoputri ini.

AP yakin, peristiwa di Aceh sekaarang ini tidak akan bisa terselesaikan selama Presidennya SBY. “Sekarang di Aceh yang berkuasa GAM secara formal. Pancasila sudah tidak berlaku dengan diterakannya Qanun di Aceh. Sekarang NKRI bukan dari Sabang sampai Merauke, tapi dari Pangkalan Brandan saja. Akibat perjanjian Helsinki yang diteken SBY tanpa persetujuan Presiden Mega saat itu, maka pemerintah sekaang tidak bisa turun tangan dalam menyelesaikan masalah Aceh,” tandasnya.

AP menilai, saat perjanjian Helsinki waktu itu betapa ambisinya SBY untuk mendapat hadiah nobel. “Tapi kan tidak segampang pikirannya untuk mendapatkan nobel. Dia mungkin berpikir kalau Aceh sudah ditangani, dirinya akan mendapat nobel,” tegas Ketua Umum Yayasan Proklamasi 17 Agustus 1945 ini.

Dengan adanya perjanjian Aceh dan GAM yang ditandatangani SBY mewakili pemerintah, menurut AP, sebenarnya SBY sudah ‘mengkhianati’ NKRI. “Kini untuk pengembaliannya (ke NKRI) tidak mudah, harus perang lagi. Sebab, orang GAM tidak mau ditertibkan lagi. Harus diakui, siapa punjadi Gubernur Aceh tidak perlu meminta persetujuan pusat. Aceh sudah jadi negara bagian, bukan NKRI lagi,” tuturnya pula.

Mestinya, tegas AP, persoalan Aceh harus diambilalih pemerintah pusat. Tapi pemerintah sekarang semuanya pengekor SBY. “Kalau Soeharto dulu ada rezim, seperti Sudomo dan lain-lain. Yang di kabinet sekarang ini pengekor SBY semua, kutu loncat semua. Saya berani bertaruh, SBY tidak punya keberanian sedikit pun soal Aceh. Padahal, UUD 45 jelas berdasar Pancasila. Saya siap berdialog dengan siapa pun untuk mempertahankan pendapat saya. Apalagi dengan SBY, saya telan dia,” tantang mantan Ketua PDIP DKI Jakarta ini.

“Soal Aceh, SBY tidak bisa berbuat apa-apa. Karena semua bersumber pada keputusan yang ditandatangani di Helsinki dulu saat SBY jadi Menko Polkam tanpa persetujuan Presiden Mega. “Ini karena SBY mau cari nama. SBY ambisius, merasa lebih besar dari Bung Karno. Mana dia pernah menyebut nama Bung Karno,” bebernya.

Ia pun menyatakan Aceh bukan wilayah NKRI lagi adalah fakta ideologis. “Ideologi NKRI itu Pancasila. Aceh bukan Pancasila lagi. Bendera GAM di mana-mana. Aceh itu memiliki dua bendera, ada merah putih dan GAM. Ini dulu akibat SBY lebih mengejar ambisi pribadi ketimbang kepentingan NKRI. Itulah yang membuat Mega marah sampai sekarang, cuma Mega tidak mau bicara seperti saya. Itu yang membuat Mega tidak mau ketemu lagi sama SBY,” ungkap AP.

Untuk membuat citra seolah-olah ada hubungan baiik, lanjutnya, SBY pun ‘menempel’ Taufiq Kiemas. “Ini komitmen yang tidak ada hubungannya dengan NKRI. SBY cari pencitraan dengan bilang bawha dirinya mau ketemu Mega tidak bisa. Lha dia mintanya melalui TV dan wartawan. Kalau langsung melalui saya misalnya, ya bisa,” tandas AP yang juga musuh politik rezim Soeharto saat itu.

Menurutnya, selama ini SBY hanya menacri popularitas diri terus, bukan untuk kepentingan bangsa. “Jadi, dia selalu menutup-nutupi kelemahannya. Malah, dia ‘memfitnah’ Mega. SBY bilang, dirinya selalu mau ketemu Mega tetapi tidak bisa. Lha ini nanti kan terkesan seolah-olah dia dizalimi Mega. Sama seperti dulu, Taufiq Kiemas bilang SBY itu jenderal kok kayak anak kecil, lho memamg iya kok. SBY kayak anak TK, dan guru TK-nya itu Taufiq Kiemas, he…he…hee…,” ucap AP.

AP juga mengritik gaya pidato Presiden SBY yang sering menggunakan bahsa ke-Inggris-inggrisan. “SBY itu di TV pamer bicara dengan bahasa Inggris. Menjemukan itu. Anak-anak sekolah lebih lancar bahasa Inggrisnya. Anak saya lebih pandai. Cucu saya saja anak TK bisa bahasa Inggris dan Mandarin. Dia sekolah di TK Binus. “SBY mengira kalau sudah berpidato diselingi bahasa Inggris, adalah orang hebat,” kata mantan anggota DPR dari PNI yang dulu ‘dipecat’ oleh rezim Soeharto ini.

 Apabila tidak ada perubahan sikap SBY, AP menyerukan, sebaiknya kalau SBY tahu diri dan mencintai Republik ini agar mengundurkan diri. Sebab, kalau bertahan terus, semakin banyak kerusakan di negara ini. “Bagaimana dia mau membernatas korupsi, wong orang-orang sekitarnya banyak koruptor,” tambahnya.

Apakah perlu revolusi untuk mengganti Presiden SBY? “Rencana dengan naiknya BBM, kalau jadi akan memicu revolsi. Tapi ternuyata dia gak berani naikkan BBM, sehingga cuma mengurangi jenis premium. Asal tahu saja, 30 persen dari APBN sudah disiapkan untuk membayar bunga utang luar negeri dan cicilannya. Tinggal 70 persen dari APBN itu dibag-bagi untuk seluruh bidang,” ungkap AP.

“Dulu Presiden Megawati memutuskan tidak ada utang luar negeri lagi. Mega bilang sama IMF, pokoknya saya sediakan 5 persen untuk IMF dan setelah itu tidak ada utang lagi. Eh… sekarang begitu presidennya ganti (SBY) malah ngutang lagi. Mega uitu ekonom. Sedangkan SBY itu bisanya cuma ngutang, dia naikkan terus gaji PNS untuk cari image,” imbuhnya. (sri/ari)

sumber : Jakartapress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q