">

Sabtu, 08 Februari 2014

Pusat Jangan Gegabah Setujui Qanun Pertambangan

Do you want to share?

Do you like this story?

Jakarta - Pemerintah Provinsi Aceh telah menerbitkan qanun atau peraturan daerah tentang tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun, pengamat pertambangan Marwan Batubara mengingatkan pemerintah pusat, yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk tidak gegabah menyetujui qanun ini.


Marwan Batubara, pengamat pertambangan dari Indonesian Resources Studies (IRESS) mengatakan, jika Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi setuju dengan qanun ini, bisa dipastikan akan menimbulkan polemik. Selain kontraproduktif terhadap upaya menarik investor guna menggerakkan ekonomi Aceh, qanun itu juga bertabrakan dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Dia menilai, salah satu pasal yang menabrak UU Minerba terkait dengan penetapan dana kompensasi sumber daya alam untuk pemerintah Aceh yang besarnya antara 2,5 persen hingga 6,6 persen. Selain itu pengusaha juga masih dibebani dana pengembangan masyarakat yang ditetapkan paling sedikit 2%.
Jika pasal-pasal dalam qanun tersebut diberlakukan maka pengusaha tambang di Aceh harus menyediakan dana untuk royalti dan kompensasi sebesar 12 persen. “Ini jelas memberatkan para pengusaha tambang,” ujar Marwan, kepada wartawan di Jakarta, Kamis (6/2).

Mengacu pada fakta tersebut, Marwan menegaskan, setiap aturan daerah yang berkaitan dengan mineral atau batubara harus selalu merujuk pada UU Minerba. Tak ada pengecualian terhadap daerah manapun, termasuk Aceh. Bagaimanapun Aceh masih menjadi bagian dari Republik Indonesia. “Misal Papua juga memiliki Undang-Undang Otonomi Khusus, namun soal minerba meski di sana ada Freeport, mereka tetap mengikuti aturan yang ada di UU Minerba,” ujarnya.

Ia mengingatkan, sudah banyak peraturan daerah dibatalkan oleh Mahkamah Agung karena bertentangan dengan undang-undang dan tidak sesuai dengan semangat desentralisasi daerah. “Harus diperhatikan juga oleh Aceh atau daerah manapun yang akan memberlakukan tarif baru, harus selalu merujuk undang-undang. Kemudian juga pusat harus mengendalikan mengatur aturan-aturan di daerah yang bertentangan itu," imbuhnya.

Ia mengingatkan, jangan karena semata hendak menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) kemudian tidak memperhatikan undang-undang yang ada di atasnya. Marwan menggambarkan, jika ada aturan otonomi khusus (otsus), seperti Aceh dan Papua, tetap berlaku mana yang boleh dijalankan daerah otsus itu dan mana yang tidak boleh. Apalagi dalam UU Minerba tidak ada pengecualian untuk daerah otsus atau tidak.
Sebelumnya, pengamat pertambangan Simon F Sembiring juga menegaskan bahwa qanun di Aceh itu tidak bisa lebih tinggi atau melebihi apa yang sudah ditetapkan di Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah (PP). “Misal yang sudah ditentukan royalti ditetapkan 5 persen, tidak bisa melebihi itu. Itu dasarnya,” ujar Simon.

Ia mengingatkan, khusus minerba, termasuk pertambangan batubara, sudah diatur dalam UU Minerba sedangkan terkait dengan pajak sudah ada UU Pajak dan UU PNBP. Jadi, setiap pungutan di daerah mengacu ke sana.  “Setiap aturan di daerah, harus disetujui dulu oleh pemerintah pusat apalagi jika menyangkut keuangan,” tegas Simon.

Tumpang Tindih
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM R. Sukhyar, mengakui sampai dengan saat ini izin didaerah terkait dengan masalah tambang masih tumpang tindih. Maka dari itu harus ada sosialisasi menyeluruh terhadap pemangku kepentingan yang terkait dengan minerba mulai dari gubernur, walikota, bupati, dan pejabat-pejabat Minerba di seluruh Indonesia terkait dengan peraturan perundang-undangan yang baru dikeluarkan pemerintah terkait larangan ekspor mineral mentah, kadar mineral yang boleh diekspor dan penerapan bea keluar mineral ekspor olahan. “Makanya ini terus kami sosialisasikan agar pertaurannya satu arah ada sinergi antar daerah dan pusat jadi tidak tumpang tindih,” ungkapnya.

Selain itu sampai dari data yang dihimpun oleh Kementerian ESDM tercatati masih ada 4.900 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari 10.000 perusahaan yang belum clear and clean (CNC).  "Maka dari itu kita konsen untuk penataan pertambangan secara menyeluruh,” tegasnya.

sumber : neraca.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q