Aceh - Sepuluh tahun sudah, wartawan RCTI
Ersa Siregar meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Pria kelahiran
Brastagi, 4 Desember 1951 tersebut ditemukan tewas saat bertugas sebagai
seorang jurnalis, seusai kontak senjata antara pasukan GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) dengan pasukan
TNI Yonif Marinir VI, di Sungai Malehen,
Simpang Ulim, Aceh Timur, Senin 20 Desember 2003, sekitar pukul 12.30
WIB.
Ersa tewas akibat dua tembakan di tubuhnya, yakni di leher
yang tembus hingga ke tangan kanan dan dada yang tembus ke punggung.
Sebelumnya pria yang bergabung di RCTI sejak 18 Agustus 1993 tersebut menjadi sandera GAM sejak 29 Juni 2003, bersama kameramen RCTI Ferry Santoro dan sopir RCTI Rahmatsyah. Namun keduanya berhasil diamankan TNI.
Kepergian
Ersa tentu saja meninggalkan duka yang mendalam, tidak hanya keluarga,
istrinya Tuty Komala Bintang dan ketiga anaknya, Ridwan Ermalandra,
Syawaludin Adesyahfitrah dan Syarah Meiliani Fauziah, namun juga bagi
dunia jurnalistik. Betapa tidak, setelah berbulan-bulan dalam perjuangan
antara hidup dan mati, Ersa Siregar akhirnya meninggalkan keluarga
untuk selama-lamanya.
Meninggalnya Ersa saat itu melengkapi masa
suram kebebasan pers di Indonesia, yang masih dihadapkan serangkaian
kasus gugatan terhadap institusi penerbitan pers beserta aksi-aksi
premanisme yang masih sering terjadi hingga saat ini.
Medan
perang memang menjadi pilihan yang sulit, bagi seorang jurnalis untuk
meliputnya. Saat berada di medan perang, seorang jurnalis harus berpikir
bagaimana menyelamatkan dirinya. Lantaran tak ada yang memberikan
jaminan, pihak-pihak yang bertikai akan mentaati konvensi internasional
tentang perlindungan jurnalis saat melakukan peliputan perang. Namun
bagi seorang jurnalis sejati seperti Ersa Siregar, hal tersebut bukanlah
menjadi halangan untuknya mendapatkan informasi-informasi yang akan
disajikan ke publik.
Dengan keberanian tersebut Ersa pun bisa
membangun akses ke kedua belah pihak yang bertikai. Hingga pada akhirnya
risiko terburuk pun harus dihadapinya. Kepergian Ersa mungkin akan
menjadi pengorbanan tertinggi dalam profesi sebagai jurnalis, yakni
meninggal saat menjalankan tugas jurnalistik.
Di mata teman
seprofesinya, kepergian pria yang menjalani profesi sebagai jurnalis
sejak tahun 1987 tersebut menjadi suatu yang sangat berat. Ungkapan
tersebut disampaikan salah seorang Koresponden RCTI di Solo, Septyantoro.
"Kami
sangat kehilangan ketika mendengar beliau meninggal di medan perang.
Sebagai senior kami, Bang Ersa itu orangnya sangat familiar, orangnya
tegas, keras, tapi lembut, ramah, tidak membeda-bedakan dan sopan
santun," ujar Septyantoro kepada merdeka.com, Sabtu (7/2).
Pengalaman
bersama Ersa yang paling mengesankan menurut Septyantoro, saat dirinya
bersama rekan-rekan koresponden dari daerah lainnya mengikuti pelatihan
di RCTI.
Meski masih sibuk bertugas di Aceh, Ersa tetap menyempatkan diri ke
Jakarta untuk memberikan materi pelatihan bagi koresponden baru, yang
akan bertugas di berbagai daerah.
"Saat itu bang Ersa masih di
Aceh, tapi beliau menyempatkan diri ke Jakarta untuk memberikan
pelatihan. Saat itu Bang Ersa memberikan materi reportase jurnalis saat
berada di medan perang. Dia berbagi pengalaman meliput perang, bagi
wartawan RCTI yang baru. Setelah selesai beliau kembali ke Aceh," ungkapnya.
Menurut informasi dari berbagai sumber, sebelum bergabung di RCTI, Ersa Siregar pernah menjadi wartawan di Majalah Suasana dan Majalah Keluarga. Pertama kali bergabung di RCTI
Ersa diberikan tanggung jawab menjadi translator dan produser, kemudian
menjabat sebagai menjadi koordinator daerah (korda), koordinator bidang
(korbid), koordinator liputan hingga gugur di medan laga.
sumber : merdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar