Perencanaan Tata Ruang, sebagai salah
satu instrumen yang dimiliki Pemerintah dalam mengatur aktivitas dalam
ruang wilayah, merupakan perencanaan suatu ‘sistem’ yang melingkupi
perwujudan struktur dan pola ruang/wilayah dalam penyelenggaraan
pembangunan. Struktur Ruang menggambarkan keberadaan susunan
pusat-pusat permukiman dengan didukung ketersediaan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang bersifat hierarkis dan memiliki hubungan
fungsional. Pada sisi lain, perwujudan Pola Ruang adalah suatu mekanisme
peruntukan suatu wilayah yang diarahkan sebagai fungsi lindung atau
fungsi budi daya. Sebagai suatu sistem tersendiri, suatu kota/wilayah
akan mampu membangun perekonomian dan meningkatkan pelayanan serta
kesejahteraan masyarakatnya dengan adanya ketersediaan jaringan
infastruktur (prasarana/sarana). Transportasi merupakan salah satu
infrastruktur utama atau subsistem perkotaan/wilayah dalam pembangunan
wilayah.
Keberhasilan fungsi dan peran pelabuhan
sebagai bagian dari infrastruktur transportasi dalam pembangunan dapat
dilihat dari dua pengertian. Pertama, dalam artian sempit,
keberhasilan pembangunan pelabuhan dapat dimaknai sebagai keberhasilan
dalam terlaksananya pelayanan perpindahan/distribusi barang dan
penumpang secara lancar dan nyaman. Peran ini menunjukkan keberhasilan
pembangunan pelabuhan sebagai perwujudan fasilitas pelayanan publik. Kedua, makna
yang lebih luas, melihat keberhasilan pelabuhan adalah keberhasilannya
sebagai bagian dari sistem perkotaan/wilayah yang mampu memberi peran
bagi perkembangan kota/wilayahnya. Pengertian ini memberi makna peran
pelabuhan yang dirasakan jauh lebih penting yaitu sebagai motor
penggerak perekonomian wilayah.
Mengevaluasi beberapa pelabuhan di Aceh,
secara umum keberadaan pelabuhan di Aceh belum memberi peran yang
optimal. Sesuai dengan PP no.61/2009 tentang Kepelabuhanan, dapat
dimaknai bahwa semestinya pelabuhan memberi peran dalam artian sempit
(sebagai simpul dalam jaringan transportasi, tempat distribusi,
produksi, dan konsolidasi muatan atau barang, dan alih moda
transportasi) dan luas (sebagai pintu gerbang kegiatan perekonomian,
penunjang kegiatan industry dan perdagangan, dan mewujudkan kedaulatan
Negara). Dalam artian sempit dapat dikatakan, pelabuhan di Aceh belum
sepenuhnya berhasil memberi pelayanan perpindahan barang/penumpang.
Demikian pula, untuk menyatakan keberhasilan pelabuhan di Aceh dalam
artian yang lebih luas harus dilakukan evaluasi ataupun kajian terlebih
dahulu.
Undang-undang no.17 tahun 2008 tentang
pelayaran menjelaskan keberadaan Tatanan Kepelabuhan Nasional diwujudkan
salah satunya untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah. Hal ini
sejalan dengan prioritas pembagunan wilayah Aceh sebagaimana tertuang
dalam RPJMA 2012-2017 menekankan tentang pentingnya perwujudan
infrastruktur terintegrasi yang diharapkan akan mampu menopang
percepatan pertumbuhan perekonomian wilayah. Karakteristik wilayah Aceh
yang sebahagian besar wilayah pusat pertumbuhannya berada di wilayah
pantai membutuhkan dukungan penguatan pelayaran dan infrastruktur
pelabuhan dengan adanya keberadaan suatu pelabuhan utama/ internasional
hub port.
Akan tetapi dalam pembangunan dan
pengembangan pelabuhan, Aceh masih memiliki berbagai persoalan yang
dihadapi. Persoalan yang paling sering muncul kepermukaan adalah terkait
dengan regulasi teknis pada tingkat nasional dengan regulasi khusus
pelaksanaan Otonomi khusus Aceh, UU No.11 tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Secara lebih teknis, dalam Rencana Induk Pelabuhan
Nasional (Permenhub No. KP. 414 tahun 2013 tentang Rencana Induk
Pelabuhan Nasional) menempatkan tidak adanya pelabuhan Utama di wilayah
Aceh, sehingga kepentingan penetapan pelabuhan utama di Aceh belum dapat
terlaksana. Pelabuhan Krueng Geukuh memiliki karakteristik yang
sepatutnya berpotensi dapat dijadikan sebagai Pelabuhan Utama di wilayah
Aceh.Sesuai dengan PP No.61Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa dalam
penetapan hierarkhi kepelabuhan, Pelabuhan Utama memiliki karakteristik
kedekatan secara geografis dengan tujuan pasar internasional, kedekatan
dengan jalur pelayaran internasional, memiliki jarak tertentu dengan
pelabuhan utama lainnya, memiliki luas daratan dan perairan tertentu,
mampu melayani kapal dengan kapasitas tertentu, tempat alih muat
penumpang dan barang internasional, dan volume kegiatan bongkar muat
dengan jumlah tertentu. Berdasarkan hal tersebut, keberadaan wilayah
Aceh yang didukung oleh Alur laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, berada
pada lintasan koridor pelayaran internasional di Selat Malaka, serta
menjadi pintu gerbang di wilayah Indonesia bagian Barat, Pelabuhan
Krueng Geukuh sangat potensial untuk menjadi Internasional Hub Port.
Penguatan peran pelabuhan Krueng Geukuh sebagai tempat alih muat
penumpang dan barang internasional dapat dijalankan dengan memperkuat
Pusat Kegiatan Nasional-Lhokseumawe.
Hal lain terkait regulasi adalah
ketidakjelasan batasan kewenangan dalam hirarkhi pelabuhan. Dalam
klasifikasi tersebut dijelaskan, Pelabuhan Utama merupakan kewenangan
pemerintah pusat, pelabuhan pengumpul merupakan kewenangan Provinsi dan
Pelabuhan Pengumpan merupakan kewenangan Kabupaten/Kota. Sedangkan
berdasarkan UUPA, kewenangan terhadap seluruh pelabuhan di Aceh menjadi
tanggung jawab Pemerintah Aceh. Mengingat besarnya tanggung jawab yang
diemban, hal ini membutuhkan persiapan yang sangat besar terkait
keberadaan otoritas pelabuhan, sumber daya manusia, dan berbagai
fasilitas pendukung sampai dengan dukungan dunia usaha, agar dapat
terlaksananya amanat undang-undang maka selanjutnya Pemerintah Aceh
harus segera menentukan langkah-langkah apa yang perlu diambil dalam
melaksanakan UUPA untuk menjalankan kewenangan mengelola pelabuhan.
sumber : www.dishubkomintel.acehprov.go.id
Pemerintah Aceh perlu membuat turunan kebijakan dari UU PA tersebut. dan bila UU PA belum menjawab, maka UU PA harus direvisi agar memiliki kewenangan untuk mengatur sarana prasarana infrastruktur. kajian saya terhadap UU PA, belum mendefinisikan dan belum mengatur tentang kewenangan yang sudah diterakan didalam UU PA.
BalasHapus