Tambang Di Aceh Barat |
"Itu makin berat dan secara nasional sulit bersaing. Misalnya kita menyuplai batubara ke PLN, daerah lain kena hanya 5% (royalti nasional), sedangkan kita ditambah 6,6% (dana kompensasi). Dari segi itu sudah kalah duluan," ujar Rizal saat dihubungi, Sabtu (11/1).
Perhitungannya, ia menjelaskan, dana kompensasi 6,6% dihitung dari free on board (FOB) kapal tongkang. Untuk komoditi batubara biasanya kapal yang digunakan mempunyai kapasitas 8 ribu-10 ribu ton. Perhitungan royalti nasional pun serupa, 5% dari FOB.
"Batubara biasanya pakai tongkang yang 8 ribu-10 ribu ton. Itu (dana kompensasi) dikali itu (kapasaitas tongkang) lalu dikali harga batu bara. Itu baru jatah untuk kalori rendah saja. Belum lagi ditambah dana CSR (corporate social responsbility) yang 2%," katanya.
Kondisi tersebut kian mempersulit pengusaha. Misalnya, harga batubara berkalori rendah seperti yang ada di Aceh tengah terpuruk. Ia menungkapkan, saat ini harga batubara berkisar US$27-US$28 per ton. Padahal, jika ingin mendapatkan untung idelanya harga batubara berkisar US$35.
"Harus di atas US$35, kalau segitu ada profit. Kalau begini pengusaha akan merugi dan pemerintah rugi karena tidak mendapatkan pajak," katanya.
Untuk itu, ia mengungkapkan, idealnya hanya dipakai satu ketentuan saja antara pusat dan daerah. Artinya tidak ada royalti ganda.
"Tapi ini kan tidak terjadi. Kalau pusat enggak setor akan ditangkap, daerah juga enggak mungkin enggak bayar," ucapnya.
Meski begitu, Rizal mengaku tetap akan mengikuti aturan yang berlaku. Hanya, ia berharap pemerintah daerah menyelesaikan pekerjaan rumahnya untuk menyelesaikan permasalahan mendasar seperti perijinan dan menciptakan iklim usaa yang kondusif di Aceh.
"Pengusaha inginkan kepastian berusaha, kenyamanan dan keamanan investasi, dan prosedur adminitasrai yang lebih sederhana dan tidak berbelit. Itu lebih menekankan kesana," pungkasnya.
sumber : The Globe Journal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar