">

Minggu, 12 Januari 2014

Benarkah Demokrasi di Aceh Terus Berkembang?

Do you want to share?

Do you like this story?

Ghazali-Abbas2
(Oleh: Ghazali Abbas Adan)

“Bahwa demokrasi di Aceh terus berkembang. Pemerintah Aceh juga membuka kran partasipasi perempuan dalam politik selebar-lebarnya”. Demikian ungkapan Malik Mahmud Al-Haytar sebagaimna diberitakan media massa online The Globe Journal (Jumat, 10/01/2014).


Terus terang saya geli membaca ungkapan seperti ini, karena faktanya demokrasi di Aceh sangat buruk. Betapa tidak, demokrasi yang didefinisikah dari, oleh dan untuk rakyat yang dijalankan sesuai konstitusi tidak berjalan di Aceh.

Lihat kembali apa yang terjadi pra dan selama proses Pilkada 2012 lalu, betapa gerombolan fasis mempertontonkan brutalitasnya. Diawali pembunuhan terhadap hamba Allah mustadh’afin etnis Jawa yang sedang mancari nafkah di Aceh, pembunuhan Saiful Cagee di Matang Glumpang Dua Bireuen karena menolak “peunutoh” berkaitan dengan pencalonan sepasang jago untuk diikutsertakan dalam Pilkada itu.
Selama proses Pilkada, gorombolan fasis juga menebar teror dan intimidasi terhadap sesama kandidat dan masysarakat pemilih.

Terjadi pengrusakan alat-alat peraga kampanye, kantor, kendaraan bermotor. Menebar ungkapan-ungkapan traumatik, seumpama “kalau begitu dan tidak begini; toet rumoh (dibakar rumah), koh takue (potong leher), pasoe lam guni (dimasukkan dalam karung goni), na prang lom (akan ada perang lagi) dan sebagainya.

Pada hari “H”, saksi kandidat diancam dan diteror agar mundur sebagai saksi di TPS, dan kalaupun tetap nekat ikut sebagai saksi diancam untuk tidak berlaku “macam-macam”, sehingga di saat perhitungan suara, dihitung dan dicatat sesukanya sesuai dengan terget.
Menyonsong Pemilu legislitif 2014, sudah terjadi pembunuhah bermotif politik, korbannya adalah Cek Gu, aktivis Partai Nasional Aceh (PNA) Pidie.

Dikatakan Pemerintah Aceh membuka kran partisipasi perempuan dalam politik selebar-lebarnya. Ini juga ungkapan asal mangap, alias asai ka meujungkat keueng. Kita belum lupa teror dan intimidasi terhadap caleg perempuan PNA di Aceh Besar, Pidie Jaya dan Aceh Utara beberapa waktu lalu.

Demikiah pula urusan penertiban spanduk dan baliho yang melanggar aturan, aparat Satpol PP dan WH dianiaya, sebagaimana terjadi di Lhokseumawe. Yang terakhir gerombolan fasis kembali mempertontonkan brutalitasnya menganiaya aktivis PNA di salah satu kecamatan di Aceh Utara karena memasang bendera dan atribut Caleg di depan rumahnya.

Dengan fakta-fakta tersebut, apanya yang diungkapkan Malik Mahmud Al-Haytar bahwa demokrasi di Aceh semakin berkembang. Ini memang benar-benar ungkapan menggelikan, asal mangap, alias asai ka meujungkat keueng. Juga harus saya katakan, bahwa kualitas ungkapan demikian memang setara dengan kualitas sosok yang mengungkapkannya.

(Penulis adalah salah seorang rakyat jelata di Aceh)

sumber : Atjehlink

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q