(Oleh: Ghazali Abbas Adan)
“Bahwa demokrasi di Aceh terus berkembang. Pemerintah Aceh juga membuka kran partasipasi perempuan dalam politik selebar-lebarnya”. Demikian ungkapan Malik Mahmud Al-Haytar sebagaimna diberitakan media massa online The Globe Journal (Jumat, 10/01/2014).
“Bahwa demokrasi di Aceh terus berkembang. Pemerintah Aceh juga membuka kran partasipasi perempuan dalam politik selebar-lebarnya”. Demikian ungkapan Malik Mahmud Al-Haytar sebagaimna diberitakan media massa online The Globe Journal (Jumat, 10/01/2014).
Terus terang saya geli membaca ungkapan seperti ini, karena faktanya demokrasi di Aceh sangat buruk. Betapa tidak, demokrasi yang didefinisikah dari, oleh dan untuk rakyat yang dijalankan sesuai konstitusi tidak berjalan di Aceh.
Lihat kembali apa yang terjadi pra dan
selama proses Pilkada 2012 lalu, betapa gerombolan fasis mempertontonkan
brutalitasnya. Diawali pembunuhan terhadap hamba Allah mustadh’afin
etnis Jawa yang sedang mancari nafkah di Aceh, pembunuhan Saiful Cagee
di Matang Glumpang Dua Bireuen karena menolak “peunutoh” berkaitan
dengan pencalonan sepasang jago untuk diikutsertakan dalam Pilkada itu.
Selama proses Pilkada, gorombolan fasis
juga menebar teror dan intimidasi terhadap sesama kandidat dan
masysarakat pemilih.
Terjadi pengrusakan alat-alat peraga kampanye, kantor, kendaraan bermotor. Menebar ungkapan-ungkapan traumatik, seumpama “kalau begitu dan tidak begini; toet rumoh (dibakar rumah), koh takue (potong leher), pasoe lam guni (dimasukkan dalam karung goni), na prang lom (akan ada perang lagi) dan sebagainya.
Terjadi pengrusakan alat-alat peraga kampanye, kantor, kendaraan bermotor. Menebar ungkapan-ungkapan traumatik, seumpama “kalau begitu dan tidak begini; toet rumoh (dibakar rumah), koh takue (potong leher), pasoe lam guni (dimasukkan dalam karung goni), na prang lom (akan ada perang lagi) dan sebagainya.
Pada hari “H”, saksi kandidat diancam
dan diteror agar mundur sebagai saksi di TPS, dan kalaupun tetap nekat
ikut sebagai saksi diancam untuk tidak berlaku “macam-macam”, sehingga
di saat perhitungan suara, dihitung dan dicatat sesukanya sesuai dengan
terget.
Menyonsong Pemilu legislitif 2014, sudah
terjadi pembunuhah bermotif politik, korbannya adalah Cek Gu, aktivis
Partai Nasional Aceh (PNA) Pidie.
Dikatakan Pemerintah Aceh membuka kran
partisipasi perempuan dalam politik selebar-lebarnya. Ini juga ungkapan
asal mangap, alias asai ka meujungkat keueng. Kita belum lupa
teror dan intimidasi terhadap caleg perempuan PNA di Aceh Besar, Pidie
Jaya dan Aceh Utara beberapa waktu lalu.
Demikiah pula urusan penertiban spanduk
dan baliho yang melanggar aturan, aparat Satpol PP dan WH dianiaya,
sebagaimana terjadi di Lhokseumawe. Yang terakhir gerombolan fasis
kembali mempertontonkan brutalitasnya menganiaya aktivis PNA di salah
satu kecamatan di Aceh Utara karena memasang bendera dan atribut Caleg
di depan rumahnya.
Dengan fakta-fakta tersebut, apanya yang
diungkapkan Malik Mahmud Al-Haytar bahwa demokrasi di Aceh semakin
berkembang. Ini memang benar-benar ungkapan menggelikan, asal mangap,
alias asai ka meujungkat keueng. Juga harus saya katakan, bahwa kualitas ungkapan demikian memang setara dengan kualitas sosok yang mengungkapkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar