Ribuan Warga Aceh Tak Punya Buku Nikah
09 Oktober 2013
Banda Aceh - Ribuan pasangan suami istri (pasutri) di Aceh saat ini tak
memiliki akta nikah. Pernikahan yang tidak tercatat itu tak memiliki
kekuatan hukum sebagaimana bunyi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam yang digunakan sebagai hukum materiil di
pengadilan agama. Hal ini tentunya berdampak negatif jika nantinya
terjadi permasalahan dalam sebuah pernikahan.
Jumlah pasutri
tak berbuku nikah itu terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan
sebuah program kerja sama Pemerintah Australia dan Indonesia, khususnya
Aceh, yaitu Local Governance Innovation for Communities in Aceh
(LOGICA2). Temuan itu disampaikan dalam Workshop Membangun Rencana Aksi
untuk Advokasi Isbat Nikah Tingkat Provinsi yang diselenggarakan Dinas
Syariat Islam (DSI) Aceh di Hotel Oasis Banda Aceh, Selasa (8/10).
Dalam
workshop tersebut, LOGICA2 membeberkan data bahwa 1.608 pasutri di dua
kabupaten, yaitu Pidie Jaya (Pjay) dan Bireuen, tidak memiliki akta
nikah. Padahal, mereka sudah menikah cukup lama. Hasil penelitian itu
juga menunjukkan bahwa kategori yang paling banyak adalah mereka yang
menikah pada saat Aceh dilanda koflik bersenjata.
“Ada empat
kabupaten/kota yang kita teliti dengan mendatangi dan mewawancarai
langsung masyarakatnya serta memberi kuesioner untuk dijawab. Keempat
kabupaten/kota itu adalah Pijay, Bireuen, Aceh Tengah, dan Aceh Timur.
Tapi data konkret yang sudah kita rekap itu baru dua kabupaten, yaitu
Pijay dan Bireuen,” kata Senior Technical Officer LOGICA2, Khairani
Arifin SH MHum kepada Serambi seusai mengisi workshop.
Dalam
pemaparan hasil penelitiannya, tercatat ada 1.064 pasutri di Pijay yang
tersebar di enam kecamatan dan 72 desa dampingan yang tak memiliki akta
nikah. “Ke-72 desa itu baru sampel yang kita teliti, karena di Pidie
Jaya ada 222 desa. Tak jauh beda dengan Pidie Jaya, di Bireuen dari
empat kecamatan dan 34 desa yang diteliti, ada 544 pasutri yang tak
mengantongi akta nikah. Itu baru data di dua kabupaten dan jumlahnya
sudah seribu lebih. Kemungkinan jumlah ini masih bertambah jika diteliti
lagi di daerah lain,” ungkap dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.
Menurutnya, masyarakat masih tak memahami pentingnya akta nikah dan
mereka juga tidak terbiasa dengan prosedur hukum yang berlaku. “Untuk
mengurus isbat nikah itu kan ada prosedurnya, seperti menghadirkan para
saksi. Nah, untuk menghadirkan saksi ini ke pengadilan mereka kan harus
mengeluarkan biaya di samping biaya yang memang sudah disediakan untuk
proses isbat nikah itu sendiri. Ini jadi salah satu alasan mengapa
mereka tidak mengurus isbat nikah. Apalagi kebanyakan mereka adalah
masyarakat yang kurang mampu,” ujarnya.
Berdasarkan keterangan
responden dalam penelitian itu, kata Khairani, penyebab mereka tak
memiliki akta nikah cukup beragam. Di antaranya, karena pernikahan
dilangsungkan pada masa konflik atau akta nikahnya hilang atau terbakar,
serta alasan lainnya.
Kepala Dinas Syariat Islam Aceh Prof Dr
Syahrizal Abbas MA melihat hal ini sebagai satu permsalahan yang serius
dalam melakukan advokasi isbat di tingkat provinsi. “Dari workshop ini
diharapkan dapat dicari format dan solusi atas apa yang dihadapi
masyarakat Aceh akibat konflik masa lalu, terutama bagaimana memperoleh
akta nikah secara resmi. Oleh karenanya, kami mengundang seluruh
stakeholder terkait dalam workshop ini untuk memikirkannya,” kata
Syahrizal.
Sementara itu, Gubernur Aceh dalam sambutan yang
dibacakan Sekda Drs T Setia Budi mengatakan akta nikah adalah dokumen
negara yang penting dimiliki oleh pasangan yang sudah menikah secara sah
bagi pemenuhan hak, khususnya perempuan dan anak, dalam mendapatkan
pelayanan publik.
“Ini adalah masalah serius yang dihadapi oleh
ribuan keluarga dalam masyarakat Aceh yang menikah pada masa konflik
sebagaimana hasil penelitian LOGICA2. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh
perlu merespons lebih serius persoalan ini, termasuk memberikan
kemudahan dan dukungan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengesahan
pernikahan (isbat nikah), sesuai dengan prosedur yang dapat ditempuh,”
katanya.
Di akhir workshop, ada empat rekomendasi yang
dihasilkan yang ditujukan kepada empat lembaga di Aceh. Pertama, untuk
Dinas Syariat Islam Aceh yang diharapkan dapat menyediakan program dan
anggaran untuk menyelesaikan maslah isbat nikah. Di samping perlu dibuat
kebijakan yang dapat mendukung pemenuhan hak masyarakat untuk isbat
nikah, khususnya korban konflik dan bencana alam.
Rekomendasi
kedua ditujukan kepada Mahkamah Syar’iyah agar dapat membuat mekanisme
yang sederhan dan efektif bagi masyarakat yang mengajukan isbat nikah.
Mahkamah Syar’iyah juga diminta mengawasi proses persidangan isbat nikah
secara adil dan terbuka.
Rekomendasi ketiga untuk Kanwil
Kemenag Aceh yang diharapkan dapat membuka upaya-uapaya bagi masyarakat
untuk mendapatkan buku nikah dengan biaya yang sesuai dengan aturan.
Rekomendasi terkahir disampaikan kepada Kanwil Kemenkum HAM Aceh untuk
dapat melakukan penyukuhan tentang hukum perkawinan dan kebijakan
terkait isbat nikah.
Sumber : Serambi Indonesia