Namun ditengah geliat perkembangan dunia film di Negeri Syariat ini, tersimpan sebuah persoalan yang patut menjadi perhatian kita sebagai penikmat, maupun pekerja film yang ada di Aceh.
Pemberlakuan sebagian Syariat Islam di Aceh memberi konsekuensi tidak adanya bioskop atau cineplex di Aceh. Ini kondisi yang problematik dan dilematis. Disatu sisi kita tentu bangga mempunyai generasi baru sineas Aceh, namun disisi lain semangat membumikan Syariat Islam seperti belum memberikan jalan keluar terbaik untuk memecahkan beberapa persoalan yang dihadapi warga Aceh itu sendiri. Dilematis, karena kondisi ini menempatkan sineas Aceh pada sebuah titik nadir pilihan antara karya dan aturan daerah. Perlawanan akan sulit menjadi pilihan, karena jika masyarakat dan pemerintah maupun ulama salah menerima bisa dikatakan anti syariat!
Layaknya sebuah karya tidak terlepas dari kebutuhan akan apresiasi dari masyarakat. Apresiasi yang paling dibutuhkan tentu penerimaan masyarakat dalam bentuk menikmati hasil karya itu. Singkatnya ya nonton! Kemajuan teknologi memang memberikan banyak pilihan media yang digunakan untuk itu. Namun kita tentu akan memenuhi naluri kita untuk mencari suguhan dengan kualitas terbaik dengan harga terjangkau. Sangat manusiawi bukan? Ini yang membuat Bioskop menjadi pilihan.
Sisi lain yang patut direnungkan adalah anggaran pembuatan sebuah karya sinema yang relatif besar. Sebagai sektor yang padat karya akan membutuhkan dana yang besar pula. Dari sisi ini industrialisasi karya sineas anak Aceh menjadi keniscayaan! Maka apresiasi terbaik bagi karya mereka adalah menontonnya, beli tiket! Kenapa beli tiket, ya karena ini yang paling efektif untuk sebuah karya film, terutama yang lahir dengan konsep layar lebar. Kembali, media sebagai sarana penunjang memberi kontribusi yang tidak mungkin dinafikan keberadaannya untuk dapat memberikan peluang yang lebih besar kepada masyarakat untuk mendukungnya dengan membantu mendanai kebutuhan anggaran pembuatannya sekaligus membantu pemerintah dalam membuka lapangan kerja dan melahirkan pengusaha muda.
Saat ini keberadaan Bioskop tidak diperkenankan oleh lembaga yang berwenang, tapi bioskop dadakan boleh. Ini kenyataan yang aneh bin ajaib! Jika bioskop dianggap tempat maksiat, tentu kita tidak boleh menganggap maksiat dadakan di bolehkan. Ada banyak solusi yang mungkin dipakai untuk mencegah itu, misalnya dengan aturan pemisahan bangku untuk laki dan perempuan, atau pemisahan jam tayang bagi laki-laki dan perempuan.
Maka menjadi pertanyaan menarik, ‘karya sineas Aceh untuk siapa? Pertanyaan ini dihadapkan dengan asumsi keberadaan bioskop di Aceh akan tetap dilarang. Ada istilah ungkapan harapan yang sering kita dengar, ‘menjadi tuan rumah di negeri sendiri,’ dapatkah kita menjadikan mereka menjadi tuan rumah di negeri kita sendiri, atau kita biarkan mereka terasing dalam kesadaran mereka yang sebenarnya tidak mempunyai rumah lagi?’
sumber : gading hs