">

Selasa, 20 Agustus 2013

Delapan Tahun MoU Helsinki, Posisi Aceh di NKRI Belum Aman

Do you want to share?

Do you like this story?


Headline

Jakarta - Tepat 15 Agustus ini merupakan delapan tahun penandatanganan MoU Helsinki di Kota Vantaa, Finlandia pada 15 Agustus 2005 lalu.

Namun hingga saat ini kedudukan Aceh di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih belum aman karena masih banyak kelompok separatis yang ingin Aceh kembali seperti dahulu.

Pengamat Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia (UI) Toni Ervianto menilai, penandatanganan tersebut mengakhiri konflik berdarah sekaligus jalan terjal yang telah menimpa Aceh sejak tahun 1975.

MoU Helsinki merupakan perjanjian yang dapat menghentikan konflik di Aceh dan juga tercatat sebagai prestasi politik gemilang pemerintahan SBY-Jusuf Kalla. Namun setelah delapan tahun penandatanganan tersebut masih ada sejumlah permasalahan krusial di Aceh yang jika tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan ancaman bagi Aceh ke depan, termasuk menimbulkan kembalinya instabilitas keamanan di Aceh.

"Saya mendapat informasi dari teman-teman yang berada di Aceh bahwa direncanakan pada 15 Agustus 2013 mendatang, sekitar 141 ribu anggota Tim Relawan Aceh (TRA) se-Aceh akan menuntut kepada berbagai pihak yang bertanggungjawab menyangkut realisasi butir-butir MoU Helsinki diantaranya tapal batas dan pengadilan HAM," kata Toni di Jakarta, Kamis (15/8/2013).

Menurutnya, masalah lainnya yang dapat mengganjal situasi keamanan di Aceh setelah delapan tahun penandatanganan MoU Helsinki adalah rencana pengibaran Bendera Aceh (Bulan Bintang) pada 15 dan 17 Agustus 2013.

Meski sudah sempat dibahas di DPR Aceh bersama pemerintah Aceh pada 19 Juli 2013 lalu, namun hal belum menemui titik temu. Padahal dalam pertemuan itu memutuskan Bendera Aceh akan dikibarkan beriringan dengan Bendera Merah Putih pada 15 Agustus dan 17 Agustus 2013. Keputusan tersebut berdasarkan hasil pertemuan di Kemendagri pada 12 Juli 2013.

"Memanasnya persoalan rencana pengibaran bendera Aceh yang mirip dengan bendera kelompok separatis GAM telah mendapatkan perhatian berbagai kalangan, termasuk mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla," jelasnya.

Toni menambahkan, sikap beberapa kelompok di Aceh yang tetap bernafsu dengan rencana pengibaran bendera Bulan Bintang atau bendera Aceh tidak terlepas dari strateginya untuk mewujudkan kepentingan politik mereka.

Kelompok ini diperkirakan akan terus melakukan cipta opini bahwa Pemerintah Pusat telah menyetujui bendera Aceh, sehingga perlu ketegasan terkait masalah tersebut. "Selain persoalan keamanan, Aceh juga masih rawan dengan belum matinya ide separatisme di beberapa kalangan terutama mantan kombatan," katanya lagi.

Toni menceritakan, menurut pengakuan salah seorang mantan kombatan di wilayah Wak Leeng, Kabupaten Aceh Tamiang, bahwa dua tokoh GAM dari Swedia akan berkunjung ke Aceh untuk melakukan konsolidasi dan perekrutan anggota.

Sebelumnya, pada Juni 2013, sebuah kelompok yang mengklaim akan memperjuangkan kemerdekaan Aceh telah mengeluarkan siaran pers yang ditandatangani Abu Sumatera, salah seorang jubir kelompok tersebut, berisi keprihatinan terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial di Aceh.

Kelompok ini menilai kesenjangan politik, ekonomi dan sosial terjadi akibat adanya kebijakan dan sistem dari Pemerintah Indonesia yang merupakan negara penjajah bangsa Aceh.

Hal ini tidak terlepas dari upaya segelintir elite politik Aceh yang masih mau bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, kelompok ini meminta seluruh komponen bangsa Aceh untuk menyatukan visi dan misi dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri dengan cara yang sesuai norma dan hukum internasional.

Meskipun demikian, potensi perpecahan diantara kelompok mantan separatis yang “belum mendapat keuntungan” dari proses penandatanganan MoU Helsinki masih cukup kuat, karena kelompok ini mempunyai pendapat dan tetap mempropagandakan bahwa Indonesia adalah penjajah Aceh.

Kelompok tersebut juga menilai sejumlah partai politik lokal telah membuat kesalahan yang fundamental, karena telah memperjuangkan bendera Bulan Bintang sebagai bendera Aceh di bawah kekuasaan Pemerintah Indonesia. Padahal bendera Bulan Bintang hanya boleh dikibarkan untuk kemerdekaan Aceh yang berdaulat.

Banyak kalangan di Aceh menilai bahwa manuver kelompok separatis di Aceh, sejauh ini lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk menunjukkan eksistensinya, sekaligus konsolidasi di kalangan anggotanya dalam mewujudkan agenda politiknya.

Meskipun sejauh ini kurang mendapat dukungan, namun kegiatan kelompok separatis diperkirakan akan terus dilakukan dengan memanfaatkan berbagai momentum, sehingga perlu terus diwaspadai agar tidak berdampak terhadap situasi polkam di Aceh.

"Kesimpulannya, masih banyak “titik didih ancaman” yang dapat mengoyak-oyak dan menghancurkan perdamaian di Aceh, sehingga sangat diperlukan kearifan lokal dan kebijakan seluruh elemen masyarakat Aceh untuk menyelesaikannya, dan menyakini bersama Indonesia maka Aceh akan semakin baik ke depan. Selamat memperingati MoU Helsinki, semoga Aceh tetap damai," tandasnya.

sumber : INILAH.COM
Kamis, 15 Agustus 2013
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q