">

Senin, 05 Agustus 2013

Konflik Konstitusi dan Kreasi ‘Self Government’

Do you want to share?

Do you like this story?

Oleh Fuad Mardhatillah UY. Tiba

Fuad Mardhatillah UY. Tiba, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry
SEJUMLAH sejumlah konflik yang berkategori konflik konstitusi kini sedang terjadi antara Pemerintah Aceh/DPRA dan Pemerintah Pusat Jakarta. Misalnya, konflik soal kewenangan pembentukan Bawaslu Aceh, soal lambang dan bendera Aceh, serta eksistensi Lembaga Wali Nanggroe. Di sini tampak, belum ada penyelesaian konstitusional (UUD 45) yang bersifat otoritatif dan fixed, terhadap kedudukan Aceh sebagai daerah yang telah diberi hak otonomi khusus melalui UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Tepat kiranya, jika ikhwal konflik konstitusi ini semestinya sejak lama harus menjadi beban tugas Prof Jimly Ash-Shiddiqi dan Prof Mahfud MD, yang sama-sama pernah menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan pakar hukum ketatanegaraan Indonesia. Sejauh ini, kajian konstitusional tentang konsekuensi logis otoritatif pasca pendelegasian kekhususan, tampak tidak menjadi concern dan fokus serius bagi para pakar hukum ketatanegaraan Indonesia. Berlarutnya persoalan bendera, lambang dan lembaga Wali Nanggroe juga lebih disebabkan oleh penggunaan pemahaman politik hukum, ketimbang pendekatan pemahaman hukum ketatanegaraan, melalui kajian lex specialis konstitusi. 
Sedikitnya ada tiga pertanyaan pokok yang perlu menjadi fokus dan concern para pakar hukum Aceh dan RI untuk menjawabnya: Pertama, bagaimana sesungguhnya membaca dan memahami UUPA dalam konteks UUD 1945 yang telah memberikan kedudukan lex specialis kepada Aceh?; Kedua, apakah UUPA bersama qanun-qanun turunannya, dapat diderogasi sedemikian rupa oleh UU sektoral lain yang menjadi payung hukum bagi otoritasi kewenangan dan operasional lembaga kementerian, juga bersama turunannya berupa Permen atau Kepmen, menyangkut urusan sektoralnya masing-masing?; Dan ketiga, apakah urusan-urusan sektoral di Aceh, yang semestinya diatur melalui qanun masih dapat dintervensi oleh UU sektoral RI lain bersama turunannya itu?
 Konflik konstitusi
Hemat saya, Prof Jimly dan Prof Mahfud hendaknya perlu mengembangkan suatu pemahaman kritis konstitusional, dalam konteks hirarki hukum dan filosofi perundang-undangan. Agar secara legal-formal para pihak (Aceh dan Jakarta) memiliki pemahaman yang lebih substansial, fixed dan otoritatif tentang lex specialis Aceh yang telah berstatus Otonomi Khusus (Otsus). Sehingga konflik klaim kewenangan antara Jakarta dan Aceh dapat diakhiri secara cerdas, bersahaja dan konstitusional, sekaligus diterima sebagai konsekuensi logis dari pemberian Otsus, yang juga merupakan bagian dari kecerdasan bangsa ini membangun penyelesaian final konflik Aceh-Jakarta.
Persoalan konflik konstitusi yang sejauh ini luput dari kajian dan pemahaman hukum ketatanegaraan antara lain menyangkut bagaimana memahami kekhususan yang bersifat otonom yang diberikan UUD 45 kepada suatu daerah melalui UU vis a vis UU sektoral lain yang sederajat bersama turunannya masing-masing. Maka, apakah misalnya, qanun yang merupakan turunan UUPA harus menjadi sederajat dengan Permen atau Kepmen yang juga merupakan turunan UU, sehingga UU sektoral, bersama turunannya berupa Permen dan Kepmen tidak lagi dapat mengintervensi urusan sektoral apa pun di Aceh, kecuali dalam enam ranah urusan yang masih menjadi kewenangan Pusat?
Dalam konflik DPRA-Bawaslu misalnya, masing-masing pihak merasa bahwa landasan hukum yang dipegangnya adalah shahih dan tidak dapat diganggu gugat. Pihak Pusat bersikukuh pada prasangka legal yang merasa lebih powerful, sebab mereka merasa memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu UU No.15 Tahun 2011. Sementara, pihak Aceh menganggap otoritas pembentukan Bawaslu Aceh telah didelegasikan kewenangannya secara lex specialis ke dalam UUPA, dan sekaligus merupakan bagian dari resolusi konflik yang dulu telah disepakati bersama, melalui MoU Helsiniki. Di mana persoalan Bawaslu itu tidak termasuk dalam enam perkara yang dikecualikan yang memang menjadi kewenangan Pusat. Termasuk soal Qanun Bendera dan Wali Nanggroe, yang ingin diderogasi atau dibatalkan lewat Permendagri, seolah Permen itu lebih tinggi derajat hirarkisnya dibanding Qanun, walau sama-sama merupakan turunan UU.
Tidak adanya konstelasi pemahaman hukum konstitusional dan politik resolutif terhadap wilayah provinsi Aceh yang telah diberikan hak-hak mengurus diri sendiri secara khusus yang dijamin UUD 45 dari pihak Pusat inilah yang saya pikir menjadi akar persoalan dari konflik antara Bawaslu Pusat, Mendagri dengan Pemerintah Aceh/DPRA. Sehingga ke dua belah pihak tidak bersedia mengalah.
Dalam sikap yang saling tidak mau mengalah inilah, semestinya perlu ada semacam usaha dari para pakar hukum ketata-negaraan yang terpercaya, seperti Prof Jimly dan Prof Mahfud untuk rethinking dan membedah konstelasi konsekuensi kewenangan dan hirarki hukum yang diberlakukan di Indonesia, tetapi harus dalam perspektif hukum dimana provinsi Aceh yang telah diberikan status otonomi khusus. Dari proses tersebut, harapannya ada pembelajaran yang dapat disadari oleh masing-masing pihak, DPRA yang sedang membela politik keacehannya, untuk menuju kemandirian dan kedaulatan politik self governed. Dan Bawaslu dan jajaran elit politik Pusat bersama para aparatur pemerintahan Pusat, agar menjadi lebih paham dan rela tentang keharusan-keharusan konstitusional dalam bingkai dan perspektif demokrasi, desentralisasi dan otonomisasi.
Dalam alur logika politik dan hukum semacam itulah, saya ingin sedikit mengurai dan mencermati alasan-alasan yang kiranya dimiliki dan dipegang kukuh oleh masing-masing pihak, dalam konteks paska diberikannya UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh di Provinsi Aceh.
 Catatan untuk pusat
Setelah UUPA diberikan kepada Aceh dengan konsideran yang cukup mengikat semua pihak. Bahwa sistem pemerintahan NKRI menurut UUD 1945 mengakui dan menghormati suatu entitas pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UUPA (point Menimbang butir a dan Pasal 1 ayat (2), yang merupakan penjabaran dari UUD 1945, Pasal 18 A, dan 18B). Namun, walaupun Aceh telah menjadi khusus, kewenangan Pemerintah Aceh telah pula diambil secara total menyangkut urusan-urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, dan urusan-urusan tertentu berkaitan dengan Agama (UUPA, Pasal 7 ayat 2).
Maka, di luar menyangkut keenam aspek kewenangan tersebut, tentu pemerintah Aceh berhak mengembangkan kreatifitas dalam menjabarkan aktualisasi diri keacehannya dalam konteks self government yang demokratis dan bersifat good governance. Sungguh, kreasi sistem pemerintahan sendiri dengan tata-kelola yang baik dan bersih dari pemerintahan Aceh ini, justru wajib dikembangkan sebagai perwujudan dari amanah konsideran UUPA, demi membangun Aceh yang adil dan sejahtera.
Selanjutnya, bersama sejumlah kewenangan yang masih cukup luas, setelah diambil enam aspek kewenangan oleh pemerintahan Pusat, muncullah pertanyaan. Apakah peraturan perundang-undangan lain, kecuali UUD 45, yang secara hirarkis sejajar, masih dapat menderogasi Undang-Undang Pemeritahan Aceh tersebut? Adalah konsekuensi logis belaka, paska diberikannya UUPA, bahwa tidak ada satu pun aturan perundang-undangan lain, yang selevel, apalagi yang di bawahnya, dapat menderogasi UUPA, kecuali segala sesuatu yang belum diatur sama sekali dalam UUPA. 
Tampaknya, persoalan entitas substansial UUPA yang memiliki sifat khusus dalam melaksanakan pemerintahan di Provinsi Aceh belum dipahami secara jelas dan mendasar. Semestinya elite pemimpin dan pemerintah Pusat dapat merelakan Aceh untuk mengembangkan aktualisasi dirinya secara dinamis, kreatif dan progresif dalam melahirkan tafsir-tafsir self-government yang good governance. Agar nantinya dapat menjadi prototype relasi pusat-daerah yang mensejahterakan, setelah 60 tahun lebih pemerintahan terpusat gagal mewujudkannya di seantero wilayah negara ini.
Ketakutan dan kekhawatiran orang-orang Pusat tentang prospek disintegrasi Aceh semestinya sudah harus dikuburkan setelah adanya UUPA. Lahirnya UU ini harus dibaca, ditafsirkan dan dipahami sebagai kesediaan Aceh menguburkan mimpinya untuk “merdeka”. Maka berlarut-larutnya konflik bendera, lambang, Lembaga Wali Nanggroe, Bawaslu dan kemungkinan banyak lagi konflik konstitusi lain yang akan timbul, justru sebenarnya memperlihatkan ketidakcerdasan Pusat dalam membangun jati kebangsaan Indonesia dalam semangat dan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, demi membangun kesejahteraan lahir batin bangsa. 
* Fuad Mardhatillah UY. Tiba, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, darussalam, Banda Aceh. Email: fmardha@gmail.com

sumber : Serambi Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q