">

Sabtu, 28 Desember 2013

Kemendagri pertanyakan KKR Aceh

Do you want to share?

Do you like this story?

Pemerintah pusat mempertanyakan pengesahan perda Komisi kebenaran dan rekonsiliasi Aceh, KKR oleh DPR Aceh pada Jumat (27/12), yang seharusnya menunggu pengesahan UU KKR nasional.

Kepala Biro Hukum Kementerian dalam negeri, Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, karena KKR Aceh merupakan bagian dari KKR di tingkat nasional, maka pembentukannya h
arus menunggu pengesahan Undang-Undang KKR.

"Sistem hukumnya itu, UU KKR-nya terlebih dahulu (disahkan), baru Perda atau qanun KKR Aceh dibentuk," kata Zudan Arif kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Jumat (27/12) sore, melalui telepon.
Dia dimintai tanggapan atas keputusan sidang paripurna DPR Aceh yang telah mengesahkan perda Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi, KKR Aceh, sekitar pukul 15.00 WIB, pada Jumat.
Karena itulah, menurutnya, Kemendagri akan mengevaluasi Perda KKR Aceh tersebut, yang secara normatif harus dievaluasi dan diklarifikasi setelah disahkan DPR Aceh.

Sebelumnya, Wakil Ketua Fraksi Partai Aceh, Adnan Beuransyah mengatakan, pihaknya mendukung pengesahan perda KKR Aceh, karena merupakan amanat kesepakatan damai antara Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, pada 2005 lalu.
"Jadi, kami mencoba mengimplementasikan hasil kesepakatan tersebut," kata Adnan Beuransyah kepada BBC Indonesia, di sela-sela acara pengesahan itu.
Sejak awal, para pegiat HAM telah meminta pemerintah Indonesia segera membentuk KKR untuk menyelesaikan persoalan dugaan pelanggaran HAM di Aceh semasa konflik.
Lembaga pegiat HAM Amnesty Internasional, sebelumnya telah  mengkritik pemerintah Indonesia dan pemerintah Aceh yang dianggap gagal mengungkap kebenaran dugaan pelanggaran HAM di Aceh.
Konflik Aceh meletus sejak 1976 yang melibatkan Gerakan Aceh Merdeka, GAM, dan pemerintah Indonesia, dimana puncak kekerasan itu terjadi saat operasi militer digelar di Aceh sejak 1989.
Konflik bersenjata Aceh - menurut Amnesty Internasional - telah mengakibatkan korban tewas di pihak sipil berkisar antara 10.000 dan 30.000 jiwa.

Kenapa disahkan sekarang?

Ditanya kenapa baru sekarang DPR Aceh mengesahkan perda KKR Aceh, Adnan Beuransyah mengatakan, draf qanun tersebut tidak diajukan jauh-jauh hari karena Undang-undang KKR tingkat nasional dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Jadi, tidak ada payung hukum lagi untuk membuat KKR di Aceh," kata Adnan, mengungkapkan alasan yang berkembang saat itu.
Namun demikian, menurutnya, DPR Aceh akhirnya memutuskan untuk mengesahkannya pada Jumat ini. "Kalau kita harus menunggu lahirnya kembali UU KKR nasional, maka kesepakatan damai itu tidak pernah diimplementasikan," katanya.
Kepala Biro Hukum Kementerian dalam negeri, Zudan Arif Fakhrulloh, mengakui bahwa sejauh ini pemerintah pusat dan DPR belum membahas draf rancangan UU KKR nasional yang baru.
"Sekarang sedang proses (pembahasan). Proses ini 'kan harus disetujui oleh DPR dan harus masuk dalam prolegnas terlebih dahulu. Nggak bisa tiba-tiba," katanya.
Dua tahun silam, dokumen awal RUU KKR yang baru disebutkan telah diserahkan ke Sekretariat Negara, tetapi belum ada informasi tentang tindak lanjutnya.
Proses pembentukan UU KKR baru yang dianggap berjalan lamban, membuat para pegiat HAM mengusulkan agar dibentuk Komisi kebenaran di Aceh.

Penting buat Aceh

Kontras Aceh termasuk pihak yang menuntut sejak awal agar KKR di Aceh dibentuk tanpa harus menunggu UU KKR.
Karena itulah, ketika DPR Aceh mengesahkan KKR Aceh, koordinator Kontras Aceh, Destika Gilang menyambut positif, walaupun menurutnya masih ada kelemahan.

Warga sipil Aceh banyak mengalami pelanggaran HAM selama konflik di wilayah itu.
"Ini penting, karena melihat konflik Aceh yang berulang, berulang dan tidak ada pengungkapan kebenaran, tidak ada pembelajaran yang diambil. Jadi akhirnya konflik itu berulang, dan yang menjadi korban lagi adalah masyarakat sipil," kata Destika saat dihubungi BBC Indonesia melalui telepon.
Menurutnya, perda KKR ini dapat memutus mata rangkai kekerasan tersebut.

"Agar kasus pelanggaran HAM di Aceh itu tidak terulang lagi. Di mana anak-anak cucu kita tahu, dulu ada kejadian kejam yang dialami saudara-saudara kita, yang tidak boleh diulang lagi," kata Destika.
Setelah reformasi politik pada 1998, pemerintah Indonesia memilih penyelesaian berbagai dugaan pelanggaran HAM di masa lalu tidak melalui jalur peradilan, melainkan komisi kebenaran dan rekonsiliasi.
Namun lebih dari satu dekade semenjak reformasi digulirkan, pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi di tingkat nasional belum terbentuk juga.


sumber : BBC Indonesia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Top 5 News

Contact Us About Us Privacy Help Redaksi Info Iklan F A Q