14 September 2013
Banda Aceh - Selain bicara soal bendera Aceh, pakar Hukum Tata Negara
Prof Dr Yusril Ihza Mahendra juga menjelaskan tentang kedudukan Lembaga
Wali Nanggroe (WN) di Aceh.
Menurut pemahamannya, WN merupakan
sebuah entitas dan simbol pemersatu adat dan budaya masyarakat Aceh.
Selain itu, Wali Nanggroe yang ditetapkan di Aceh juga tidak memiliki
wewenang eksekutif. Hal ini berbeda dengan kewenangan sultan di sejumlah
negara bagian di Malaysia.
“Kedudukan Wali Nanggroe lebih pada simbol budaya dan pemersatu
masyarakat Aceh yang tidak memiliki wewenang langsung dalam
pemerintahan. Wali Nanggroe itu juga tidak struktural. Lembaganya
diadakan, karena pertimbangan otonomi khusus Aceh. Tidak ada di tempat
lain, hanya ada di Aceh,” ujarnya.
Namun, katanya, sebelum
dilantik, gubernur terpilih selaku kepala pemerintahan dapat saja
mendatangi dengan Wali Nanggroe dalam kapasitasnya selaku tokoh
pemersatu, untuk mendapatkan syafaat dan berkah.
Yusril
membeberkan bahwa pada awal munculnya wacana akan adanya Lembaga Wali
Nanggroe di Aceh, semua pihak yang terlibat membahas item tersebut di
Jakarta ketika itu berpikir bahwa yang akan menduduki poisi Wali
Nanggroe adalah Teungku Muhammad Hasan di Tiro selaku deklarator Aceh
Merdeka.
“Pikiran kami wakti itu saat pembahasan RUUPA ya
Teungku Hasan Tiro yang akan menempati tempat itu untuk memberikan
penghormatan kepadanya. Nah, setelah dia tiada, apa Aceh masih perlu
Wali Nanggroe?”
Yusril menegaskan sosok Wali Nanggroe sebagai
pemersatu masyarakat Aceh hendaknya dapat diterima semua elemen
masyarakat. Dulu, katanya, ada tokoh sekelas Ali Hasjmy di Aceh yang
juga seorang cendikia, ulama, pujangga, dan mantan gubernur Aceh.
“Wali Nanggroe itu tokoh pemersatu dan dapat diterima oleh semua
rakyat. Seperti dulu, di Aceh ada Ali Hasyimy,” kata Yusril mengenang.
Saat berbincang di Kantor Serambi kemarin, ia juga mengaku pada tahun
1978 saat dibawa Oesman Raliby ke Aceh, ia sempat bertemu Tgk Daud
Beureueh, Hasan Saleh, dan tokoh-tokoh Aceh lainnya. Satu hal paling
dikenang Yusril yang masih pemuda saat itu adalah saat Tgk Daud Beureueh
mengelus-elus kepalanya sambil berucap, “Bantu Aceh ya Nak, bantu
Aceh.”
Yusril yang akan maju sebagai calon Presiden RI merasa
hingga kini memiliki tanggung jawab moral untuk membantu Aceh, karena
mendapat “wasiat” langsung dari Daud Beureueh.
Sumber : 91.8 KISS FM Aceh
14 September 2013
Banda Aceh - Selain bicara soal bendera Aceh, pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra juga menjelaskan tentang kedudukan Lembaga Wali Nanggroe (WN) di Aceh.
Menurut pemahamannya, WN merupakan sebuah entitas dan simbol pemersatu adat dan budaya masyarakat Aceh. Selain itu, Wali Nanggroe yang ditetapkan di Aceh juga tidak memiliki wewenang eksekutif. Hal ini berbeda dengan kewenangan sultan di sejumlah negara bagian di Malaysia.
“Kedudukan Wali Nanggroe lebih pada simbol budaya dan pemersatu masyarakat Aceh yang tidak memiliki wewenang langsung dalam pemerintahan. Wali Nanggroe itu juga tidak struktural. Lembaganya diadakan, karena pertimbangan otonomi khusus Aceh. Tidak ada di tempat lain, hanya ada di Aceh,” ujarnya.
Namun, katanya, sebelum dilantik, gubernur terpilih selaku kepala pemerintahan dapat saja mendatangi dengan Wali Nanggroe dalam kapasitasnya selaku tokoh pemersatu, untuk mendapatkan syafaat dan berkah.
Yusril membeberkan bahwa pada awal munculnya wacana akan adanya Lembaga Wali Nanggroe di Aceh, semua pihak yang terlibat membahas item tersebut di Jakarta ketika itu berpikir bahwa yang akan menduduki poisi Wali Nanggroe adalah Teungku Muhammad Hasan di Tiro selaku deklarator Aceh Merdeka.
“Pikiran kami wakti itu saat pembahasan RUUPA ya Teungku Hasan Tiro yang akan menempati tempat itu untuk memberikan penghormatan kepadanya. Nah, setelah dia tiada, apa Aceh masih perlu Wali Nanggroe?”
Yusril menegaskan sosok Wali Nanggroe sebagai pemersatu masyarakat Aceh hendaknya dapat diterima semua elemen masyarakat. Dulu, katanya, ada tokoh sekelas Ali Hasjmy di Aceh yang juga seorang cendikia, ulama, pujangga, dan mantan gubernur Aceh.
“Wali Nanggroe itu tokoh pemersatu dan dapat diterima oleh semua rakyat. Seperti dulu, di Aceh ada Ali Hasyimy,” kata Yusril mengenang.
Saat berbincang di Kantor Serambi kemarin, ia juga mengaku pada tahun 1978 saat dibawa Oesman Raliby ke Aceh, ia sempat bertemu Tgk Daud Beureueh, Hasan Saleh, dan tokoh-tokoh Aceh lainnya. Satu hal paling dikenang Yusril yang masih pemuda saat itu adalah saat Tgk Daud Beureueh mengelus-elus kepalanya sambil berucap, “Bantu Aceh ya Nak, bantu Aceh.”
Yusril yang akan maju sebagai calon Presiden RI merasa hingga kini memiliki tanggung jawab moral untuk membantu Aceh, karena mendapat “wasiat” langsung dari Daud Beureueh.
Sumber : 91.8 KISS FM Aceh
Banda Aceh - Selain bicara soal bendera Aceh, pakar Hukum Tata Negara Prof Dr Yusril Ihza Mahendra juga menjelaskan tentang kedudukan Lembaga Wali Nanggroe (WN) di Aceh.
Menurut pemahamannya, WN merupakan sebuah entitas dan simbol pemersatu adat dan budaya masyarakat Aceh. Selain itu, Wali Nanggroe yang ditetapkan di Aceh juga tidak memiliki wewenang eksekutif. Hal ini berbeda dengan kewenangan sultan di sejumlah negara bagian di Malaysia.
“Kedudukan Wali Nanggroe lebih pada simbol budaya dan pemersatu masyarakat Aceh yang tidak memiliki wewenang langsung dalam pemerintahan. Wali Nanggroe itu juga tidak struktural. Lembaganya diadakan, karena pertimbangan otonomi khusus Aceh. Tidak ada di tempat lain, hanya ada di Aceh,” ujarnya.
Namun, katanya, sebelum dilantik, gubernur terpilih selaku kepala pemerintahan dapat saja mendatangi dengan Wali Nanggroe dalam kapasitasnya selaku tokoh pemersatu, untuk mendapatkan syafaat dan berkah.
Yusril membeberkan bahwa pada awal munculnya wacana akan adanya Lembaga Wali Nanggroe di Aceh, semua pihak yang terlibat membahas item tersebut di Jakarta ketika itu berpikir bahwa yang akan menduduki poisi Wali Nanggroe adalah Teungku Muhammad Hasan di Tiro selaku deklarator Aceh Merdeka.
“Pikiran kami wakti itu saat pembahasan RUUPA ya Teungku Hasan Tiro yang akan menempati tempat itu untuk memberikan penghormatan kepadanya. Nah, setelah dia tiada, apa Aceh masih perlu Wali Nanggroe?”
Yusril menegaskan sosok Wali Nanggroe sebagai pemersatu masyarakat Aceh hendaknya dapat diterima semua elemen masyarakat. Dulu, katanya, ada tokoh sekelas Ali Hasjmy di Aceh yang juga seorang cendikia, ulama, pujangga, dan mantan gubernur Aceh.
“Wali Nanggroe itu tokoh pemersatu dan dapat diterima oleh semua rakyat. Seperti dulu, di Aceh ada Ali Hasyimy,” kata Yusril mengenang.
Saat berbincang di Kantor Serambi kemarin, ia juga mengaku pada tahun 1978 saat dibawa Oesman Raliby ke Aceh, ia sempat bertemu Tgk Daud Beureueh, Hasan Saleh, dan tokoh-tokoh Aceh lainnya. Satu hal paling dikenang Yusril yang masih pemuda saat itu adalah saat Tgk Daud Beureueh mengelus-elus kepalanya sambil berucap, “Bantu Aceh ya Nak, bantu Aceh.”
Yusril yang akan maju sebagai calon Presiden RI merasa hingga kini memiliki tanggung jawab moral untuk membantu Aceh, karena mendapat “wasiat” langsung dari Daud Beureueh.
Sumber : 91.8 KISS FM Aceh