Banda Aceh - Pakar
hukum tata negara Universitas Gajah Mada Zainal Arifin Mochtar
mengatakan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) harus direvisi ulang
untuk mencapai keselarasan antara Pemerintah Aceh dengan pemerintah
pusat.
Hal itu dikatakan Zainal Arifin ketika
menjadi nara sumber dalam diskusi memperingati 8 tahun MoU Helsinki yang
bertema Kemana Arah Pembangunan dan Perdamaian Aceh di hotel Hermes
Palace Banda Aceh, Senin 9 September 2013.
Yang harus dipahami, kata dia, saat
pembentukan UUPA ada nuansa tergesa-gesa dan kompromi. “Dan nuasa yang
penting kita damai dulu lah. Dan saat ini kita sudah menjalaninya selama
8 tahun, jadi sudah saatnya kita membangun undang-undang yang lebih
kuat,” kata Zainal Arifin.
Dia mengatakan untuk menyelesaikan
masalah selama ini maka UUPA harus direvisi dan dilaksanakan dalam
konteks yang sesuai dengan pemerintahan pusat.
“Misalnya konteks ke atas harus
disesuaikan dengan pemerintahannya, ke samping harus sesuai dengan MoU
Helsinki dan ke bawah diatur sesuai konsep dan kultur budaya yang
dipercaya oleh masyarakat Aceh,” kata Zainal Arifin.
Terkait dengan bendera dan lembaga Wali
Nanggroe, Arifin mengatakan tergantung kebutuhan masyarakat. Jika
kebutuhan masyarakat adalah kesejahteraan dan pemberantasan korupsi,
kata dia, maka dia mempertanyakan apa sumbangsih dari bendera dan
lembaga Wali Nanggroe terhadap dua hal tersebut.
“Kalau bendera tidak ada kita tidak akan
sejahtera? Sudah saatnya masyarakat dan elit berpikir tentang sebuah
prioritas untuk masayarakat dan tidak hanya memikirkan dan
mempermasalahkan simbol,” kata dia.
Yang harus dipikirkan saat ini menurut
Zainal Arifin adalah apa yang paling penting dilakukan. “Kalau ini
dipikirkan maka kita bisa menentukan mana yang prioritas dan tidak
prioritas bagi masyarakat,” kata dia.sumber : AtjehLink