* Evaluasi Mendagri tidak Mutlak
“Secara de jure sudah (ditetapkan dalam qanun-red). Secara de facto Teungku Malik Mahmud Al-Haytar diakui Wali Nanggroe dalam qanun sejak wafatnya Dr Teungku Hasan Muhammad di Tiro pada 3 Juni 2010 sebagai Wali Nanggroe ke-8. Dengan demikian berdasarkan qanun ini Teungku Malik Mahmud Al-Haytar sudah dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya sebagai Wali Nanggroe,” kata Anggota Komisi A DPRA, Abdullah Saleh SH.
Abdullah Saleh yang juga anggota Pansus Rancangan Qanun Lembaga Wali Nanggroe, secara khusus mengundang Serambi ke ruang kerjanya, Jumat (15/2) untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya terkait pro-kontra Qanun Lembaga Wali Nanggroe yang belakangan ini marak menuai reaksi publik.
Ditegaskan Abdullah Saleh, mandat yang dijalankan Teungku Malik Mahmud Al-Haytar ini secara konstitusional juga dipertegas dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe menjadi Qanun Aceh dan telah ditandatangani Gubernur dr Zaini Abdullah dan Sekda T Setia Budi pada 19 November 2012. Setidaknya, Lembaga Wali Nanggroe mengemban lebih 30 fungsi, tugas, dan kewenangan dalam Pemerintahan Aceh.
Abdullah Saleh menjelaskan, pada Ketentuan Peralihan Pasal 132 Ayat (6) Qanun Nomor 8 Tahun 2012 menyatakan; “Sejak berpulang ke rahmahtullah Wali Nanggroe Dr Teungku Hasan Muhammad di Tiro, maka Waliyul’ahdi Teungku Malik Mahmud Al-Haytar ditetapkan sebagai Wali Nanggroe IX.”
Menurut Abdullah Saleh, posisi Qanun Lembaga Wali Nanggroe sudah legal untuk dijalankan setelah disahkan DPRA, diteken Gubernur dan dituangkan dalam Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 8. Demikian pula Pemangku Wali Nanggroe Teungku Malik Mahmud Al-Haytar sudah dapat menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya sesuai yang diatur dalam qanun.
“Selama ini Teungku Malik Mahmud sudah menjalankan tugasnya memberi saran-saran kepada DPRA dan Pemerintah Aceh. Demikian juga dalam hal membangun komunikasi dengan berbagai pihak baik dalam maupun luar negeri dalam rangka penguatan perdamaian sudah berjalan,” tegas advokat senior ini.
Menurutnya, sampai saat ini Pemangku Wali Nanggroe Teungku Malik Mahmud Al-Haytar masih menempati sebuah rumah di Jalan Residen Danubroto, Gampong Geuceu Kompleks, Banda Aceh sebelum Meuligo Wali Nanggroe yang dibangun Pemerintah Aceh rampung.
Abdullah Saleh menyebutkan, Qanun Lembaga Wali Nanggroe sudah disahkan DPRA tidak mutlak harus mendapat evaluasi dari Menteri Dalam Negeri. Sebab, katanya, Qanun Lembaga Wali Nanggroe bersifat qanun penyelanggaraan pemerintahan umum. Namun apabila Mendagri melakukan evaluasi semua produk hukum daerah, hal itu sah-sah saja dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan agar produk hukum tersebut sinkron dengan produk hukum lainnya yang lebih rendah dan lebih tinggi.
“Untuk qanun penyelenggaraan pemerintahan umum seperti Qanun Lembaga Wali Nanggroe, pembatalan qanun hanya dapat dilakukan dengan peraturan presiden (perpres). Tapi kalau Mendagri melakukan evaluasi, hasil evaluasi itu disampaikan ke Presiden,” kata Abdullah Saleh.
Abdullah Saleh melanjutkan, berbeda halnya dengan qanun yang menyangkut APBA, tata ruang dan pajak yang perlu mendapat pengawasan dari Mendagri karena menyangkut kepentingan nasional. Sedangkan qanun penyelenggaraan pemerintahan umum yang menjadi kewenangan Aceh seperti Lembaga Wali Nanggroe, langsung mendapat kekuatan hukum tetap setelah disahkan gubernur dan diundangkan dalam lembaran Aceh.
“Soal ini perlu diperjelas. Seolah Qanun Aceh itu baru memiliki kekuatan hukum setelah mendapat persetujuan dari Mendagri. Jadi tidak semua (qanun) seperti itu,” tegasnya.
Menurut Abdullah Saleh, isi dari qanun lembaga WN sudah disampaikan secara luas kepada publik lewat media cetak dan elektronik setelah qanun disahkan. Demikian pula halnya dengan anggaran operasional untuk WN. Menurutnya, anggaran operasional tersebut dianggarkan dalam APBA 2013, karena Lembaga WN memang sudah ada sebelumnya.
Qanun Lembaga WN, menurut Abdullah Saleh bukan rekayasa DPRA, tetapi penjabaran dari kesepakatan damai MoU Helsinki melalui UUPA.
“Tidak ada satu pun pasal yang bertentangan dengan UU yang lebih tinggi. Kita siap mempertanggungjawabkan secara hukum, termasuk dalam uji materil. Kalau pun ada yang kekurangan, itu manusiawi dan dapat dimungkinkan relevansi masa mendatang,” jelasnya.
Politisi Partai Aceh ini juga menjelaskan terkait dengan syarat WN yang mampu berbahasa Aceh secara fasih dan baik yang sempat menuai kontroversi publik. Sebenarnya, kata Abdullah Saleh, syarat ini sudah diakomodir dengan merumuskan solusi. Pada Ketentuan Umum Pasal I Ayat (20) menyebutkan; “Bahasa Aceh adalah bahasa-bahasa yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Aceh.” “Jadi tidak ada unsur diskriminatif dalam qanun ini, termasuk untuk syarat bagi Wali Nanggroe,” demikian Abdullah Saleh.(sar)
Qanun WN, Antara ‘Halal’ dan ‘Haram’
MESKI sudah dilembardaerahkan, Qanun Lembaga Wali Nanggroe atau yang sering disingkat Qanun WN belum dapat diberlakukan. “Ini sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah,” kata Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin SH kepada Serambi, Jumat (15/2).
Menurut Safaruddin, dalam Pasal 2 Permendagri itu disebutkan: (1) Mendagri melakukan pengawasan terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah. (2) Pengawasan yang dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) Klarifikasi Perda Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Peraturan Gubernur, Bupati/Wali Kota. b) Evaluasi Perda.
Dalam pasal 6 ayat (4) disebutkan: “Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dijadikan bahan usulan Mendagri kepada Presiden untuk Pembatalan.”
Dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 juga telah ditegaskan bahwa aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Dikatakan Safaruddin, UU memberikan tugas mengklasifikasikan suatu perda bertentangan dengan UU kepada Mendagri. Jadi suatu Perda itu harus ada pertetujuan/klarifikasi dari Mendagri, baru dapat diundangkan dalam lembaran daerah.
“Jika Qanun WN tetap dioprasionalkan maka konsekuensi hukum dari penggunaan anggarannya akan menjadi tindak pidana korupsi karena menggunakan anggaran tanpa adanya payung hukum,” katanya.
Koordinator Badan Pekerja Solidaritas untuk AntiKorupsi (SuAK) Aceh, Teuku Neta Firdaus juga punya pandangan tersendiri terhadap Qanun WN. “Jika Qanun WN dijalankan sebelum ada klarifikasi dari Kemendagri, berarti Qanun WN dianggap qanun otoriter, karena klarifikasi Qanun WN ke Mendagri itu wajib,” kata Neta, kepada Serambi, kemarin.
Menurutnya, Qanun WN tidak dalam keadaan terdesak harus dijalankan, “jadi tidak perlu ‘dipaksa’ disuguhi yang haram karena yang halal masih banyak untuk bisa dimakan.”
Neta juga mengatakan, jangan kita dianggap kurang waras karena terlalu ambisius. Qanun WN tidak bisa dijalankan sebelum ada kata sepakat atau pengkajian ulang produk legislasi daerah dalam rambu-rambu hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Qanun WN juga masih kontra-struktur yang berpotensi tumpang-tindih dengan SKPA yang telah ada. Jika dipaksakan akan berdampak pada pemborosan anggaran belanja daerah, pos-pos anggaran tersebut akan terindikasi fiktif, karena dalam satu kegiatan ada dua pos anggaran. “Ini akan berdampak inefisiensi pembangunan dan akan menabrak banyak aturan,” tandasnya.
Neta menyebutkan, seharusnya DPRA tidak menggunakan ‘kacamata-kuda’ dalam melihat tatacara memproduksi aturan. “Dalam perundang-undangan disebutkan bahwa setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi inferiore),” demikian Neta.
Masih terkait Qanun WN, Ketua Gerakan Masyarakat Partisipatif (GeMPAR) Aceh, Auzir Fahlevi SH menilai di satu sisi memang merupakan implementasi dari UU Nomor 11 Tahun 2006 (UUPA). Tapi di sisi lain keberadaan Lembaga Wali Nanggroe cenderung dipaksakan.
Menurut Auzir, roh awal keberadaan Lembaga WN hanya sebagai lembaga representasi kepemimpinan adat Aceh, tetapi sekarang seakan menjadi lembaga politik.
Jika merujuk pada ketentuan UUPA, maka jelas kedudukan WN bersifat personal dan independen serta dipilih berdasarkan ketentuan UUPA. “Soal keuangan Lembaga Wali Nanggroe memang diatur berdasarkan Qanun Aceh, akan tetapi mekanisme alokasi dan penggunaan anggaran juga harus dikoreksi terlebih dahulu oleh Mendagri. Apakah ada yang bertentangan dengan Permendagri atau UU tentang pengelolaan keuangan negara. Jadi alokasi dana WN itu tidak boleh sembarangan dan harus memenuhi prinsip akuntabel dan transparansi anggaran,” ujar Auzir.
Koordinator Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani yang dimintai tanggapannya soal Qanun WN mengatakan anggaran Wali Nanggroe tidak bisa serta merta dapat digunakan jika secara prosedur dan aturan yang diusulkan belum sah.
Menurut Askhalani, Mendagri berhak mengevaluasi semua aturan perda yang diusulkan atau disahkan Pemerintah Daerah. Jika dalam implementasinya melanggar aturan lebih tinggi, maka qanun tersebut tidak dapat diimplementasikan. Begitu juga dengan anggaran yang diakibatkan oleh qanun yang dilahirkan, maka dengan sendirinya tidak dapat digunakan.
Tanggapan bernada kritis menyangkut Qanun WN disuarakan juga oleh Koordinator Masyarakat Transparansi Anggaran (MaTA) Aceh, Alfian. “Penganggaran operasional WN yang diusulkan Gubernur sebesar Rp 40 miliar harus terlebih dahulu ada dasar hukumnya. Artinya Qanun WN perlu ada konsultasi ke Mendagri agar ada kekuatan hukum tetap sehingga tidak bermasalah di kemudian hari,” kata Alfian.
MaTA berharap Gubernur Aceh bisa mengambil langkah bijak merespons keinginan Mendagri. Menurut Alfian, MaTA melihat sisi penganggaran potensi bermasalah ke depan. “Kita bisa melihat Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka juga hampir mirip dengan Aceh, yaitu menganggarkan anggaran Keraton setelah mendapatkan persetujuan Mendagri melalui regulasi keberadaan Keraton dalam penganggaran,” kata Alfian.
Pendapat tentang Qanun WN juga disuarakan aktivis mahasiswa, Muhammad Khaidir selaku Koordinator Bedan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Wilayah Banda Aceh, Aceh Besar, dan Sabang.
“Evaluasi dan pengesahan setiap qanun, termasuk Qanun WN oleh Mendagri mutlak harus ada. Jika tidak ada pengesahan dari Mendagri, usulan dana operasional WN Rp 40 miliar juga harus dicabut. Kalau tetap dipaksakan penganggaran dana itu, kami dari mahasiswa siap mengawalnya karena penggunaan uang daerah ini melanggar hukum,” tandas Muhammad Khaidir.
sumber : Atjehnish Service History For Generation