29 Agustus 2013
TIHAWA, warga Desa Meunasah Mancang, Kemukiman Ara Bungkok, Kecamatan
Lhoksukon, Aceh Utara, ingin anak-anaknya menjadi orang yang berguna
bagi daerah dan masyarakat. Namun impian tersebut harus dipendam, sebab
perempuan 39 tahun ini tidak memiliki biaya menyekolahkan dua putranya.
Sejak tujuh tahun lalu, Tihawa menjadi janda karena dicerai suaminya.
Ketika itu, suaminya pergi bersama wanita lain dan meninggalkan dirinya
yang sedang mengandung anak keempat.
Tihawa berusaha
menghidupi empat putranya dengan menjadi buruh cuci pakaian. Upah yang
didapat hanya Rp100 ribu per bulan. Karena keterbatasan ekonomi itulah,
dua anaknya putus sekolah. Dua lainnya masih bersekolah lantaran
memperoleh bantuan beasiswa.
“Anak sulung saya, Hamdani (17
tahun) hanya lulus SMP. Sedangkan anak kedua saya, Hendra Budiman (16
tahun) tidak sempat lulus SMP. Keduanya kini bekerja sebagai buruh
sawah,” ujar Tihawa saat ditemui ATJEHPOSTcom, Kamis, 29 Agustus 2013.
Tihawa menyebutkan, dua anaknya yang masih sekolah adalah Zulfikar (12
tahun) duduk di bangku SMP, serta adiknya M Farhan (7 tahun) baru masuk
SD.
“Dengan upah minim yang saya peroleh mana cukup untuk
menyekolahkan empat anak. Untuk makan saja terkadang sekali dalam
sehari,” ujar janda miskin itu.
Saat ini Tihawa bersama empat
putranya tinggal di sebuah gubuk reot berukuran 4x6 meter yang masih
berlantai tanah. Gubuk itu dibangun di atas tanah milik abangnya di Desa
Meunasah Mancang Lhoksukon, berjarak sekitar 4 Kilometer dari jalan
Medan–Banda Aceh.
“Sebagai seorang ibu, saya hanya ingin agar
dua putra kecil saya tetap dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang
tertinggi. Andai punya biaya, saya juga ingin dua putra saya yang telah
putus sekolah kembali mengenyam bangku pendidikan,” katanya.
Kepada Pemerintah Aceh Utara, Tihawa berharap diberikan bantuan agar dua
putranya bisa melanjutkan sekolah. Ia juga memohon bantuan rumah layak
huni.
“Tanah tempat kami bangun rumah kecil ini memang milik
abang saya, tetapi abang saya akan menghibahkan kepada saya jika memang
saya mendapat rumah bantuan,” ujar Tihawa.
Sumber : Atjehnish Service History For Generation
29 Agustus 2013
TIHAWA, warga Desa Meunasah Mancang, Kemukiman Ara Bungkok, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, ingin anak-anaknya menjadi orang yang berguna bagi daerah dan masyarakat. Namun impian tersebut harus dipendam, sebab perempuan 39 tahun ini tidak memiliki biaya menyekolahkan dua putranya.
Sejak tujuh tahun lalu, Tihawa menjadi janda karena dicerai suaminya. Ketika itu, suaminya pergi bersama wanita lain dan meninggalkan dirinya yang sedang mengandung anak keempat.
Tihawa berusaha menghidupi empat putranya dengan menjadi buruh cuci pakaian. Upah yang didapat hanya Rp100 ribu per bulan. Karena keterbatasan ekonomi itulah, dua anaknya putus sekolah. Dua lainnya masih bersekolah lantaran memperoleh bantuan beasiswa.
“Anak sulung saya, Hamdani (17 tahun) hanya lulus SMP. Sedangkan anak kedua saya, Hendra Budiman (16 tahun) tidak sempat lulus SMP. Keduanya kini bekerja sebagai buruh sawah,” ujar Tihawa saat ditemui ATJEHPOSTcom, Kamis, 29 Agustus 2013.
Tihawa menyebutkan, dua anaknya yang masih sekolah adalah Zulfikar (12 tahun) duduk di bangku SMP, serta adiknya M Farhan (7 tahun) baru masuk SD.
“Dengan upah minim yang saya peroleh mana cukup untuk menyekolahkan empat anak. Untuk makan saja terkadang sekali dalam sehari,” ujar janda miskin itu.
Saat ini Tihawa bersama empat putranya tinggal di sebuah gubuk reot berukuran 4x6 meter yang masih berlantai tanah. Gubuk itu dibangun di atas tanah milik abangnya di Desa Meunasah Mancang Lhoksukon, berjarak sekitar 4 Kilometer dari jalan Medan–Banda Aceh.
“Sebagai seorang ibu, saya hanya ingin agar dua putra kecil saya tetap dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang tertinggi. Andai punya biaya, saya juga ingin dua putra saya yang telah putus sekolah kembali mengenyam bangku pendidikan,” katanya.
Kepada Pemerintah Aceh Utara, Tihawa berharap diberikan bantuan agar dua putranya bisa melanjutkan sekolah. Ia juga memohon bantuan rumah layak huni.
“Tanah tempat kami bangun rumah kecil ini memang milik abang saya, tetapi abang saya akan menghibahkan kepada saya jika memang saya mendapat rumah bantuan,” ujar Tihawa.
Sumber : Atjehnish Service History For Generation
TIHAWA, warga Desa Meunasah Mancang, Kemukiman Ara Bungkok, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, ingin anak-anaknya menjadi orang yang berguna bagi daerah dan masyarakat. Namun impian tersebut harus dipendam, sebab perempuan 39 tahun ini tidak memiliki biaya menyekolahkan dua putranya.
Sejak tujuh tahun lalu, Tihawa menjadi janda karena dicerai suaminya. Ketika itu, suaminya pergi bersama wanita lain dan meninggalkan dirinya yang sedang mengandung anak keempat.
Tihawa berusaha menghidupi empat putranya dengan menjadi buruh cuci pakaian. Upah yang didapat hanya Rp100 ribu per bulan. Karena keterbatasan ekonomi itulah, dua anaknya putus sekolah. Dua lainnya masih bersekolah lantaran memperoleh bantuan beasiswa.
“Anak sulung saya, Hamdani (17 tahun) hanya lulus SMP. Sedangkan anak kedua saya, Hendra Budiman (16 tahun) tidak sempat lulus SMP. Keduanya kini bekerja sebagai buruh sawah,” ujar Tihawa saat ditemui ATJEHPOSTcom, Kamis, 29 Agustus 2013.
Tihawa menyebutkan, dua anaknya yang masih sekolah adalah Zulfikar (12 tahun) duduk di bangku SMP, serta adiknya M Farhan (7 tahun) baru masuk SD.
“Dengan upah minim yang saya peroleh mana cukup untuk menyekolahkan empat anak. Untuk makan saja terkadang sekali dalam sehari,” ujar janda miskin itu.
Saat ini Tihawa bersama empat putranya tinggal di sebuah gubuk reot berukuran 4x6 meter yang masih berlantai tanah. Gubuk itu dibangun di atas tanah milik abangnya di Desa Meunasah Mancang Lhoksukon, berjarak sekitar 4 Kilometer dari jalan Medan–Banda Aceh.
“Sebagai seorang ibu, saya hanya ingin agar dua putra kecil saya tetap dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang tertinggi. Andai punya biaya, saya juga ingin dua putra saya yang telah putus sekolah kembali mengenyam bangku pendidikan,” katanya.
Kepada Pemerintah Aceh Utara, Tihawa berharap diberikan bantuan agar dua putranya bisa melanjutkan sekolah. Ia juga memohon bantuan rumah layak huni.
“Tanah tempat kami bangun rumah kecil ini memang milik abang saya, tetapi abang saya akan menghibahkan kepada saya jika memang saya mendapat rumah bantuan,” ujar Tihawa.
Sumber : Atjehnish Service History For Generation