KOTA Pangkal Pinang adalah salah satu daerah pemerintahan kota di Indonesia yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) sekaligus merupakan ibu kota provinsi tersebut.
Kota ini terletak di bagian timur Pulau Bangka. Kota Pangkal Pinang terbagi dalam 7 kecamatan yaitu Taman Sari, Rangkui, Pangkalbalam, Gabek, Bukit Intan, Girimaya, dan Gerunggang. Kota dengan julukan “Bumi Serumpun Sebalai” ini memiliki luas wilayah 118,408 km2 dan jumlah penduduk berdasarkan Sensus Penduduk 2010 sebanyak 328,167 jiwa dengan kepadatan 1.955 jiwa/km2.
Populasi Kota Pangkal Pinang kebanyakan dibentuk oleh etnis melayu dan Tionghoa suku Hakka yang datang dari Guangzhou. Ditambah sejumlah suku pendatang seperti Batak, Minangkabau, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Manado, Flores, dan Ambon.
Walaupun tidak tergolong mayoritas, etnis Aceh juga merupakan salah satu komunitas yang tinggal di Kota Pangkal Pinang. Ada sekitar 200-an jiwa etnis Aceh di Kota Pangkal Pinang --jumlah ini belum termasuk masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten kota/lain di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Sangat mudah mencari orang Aceh di Kota Pangkal Pinang.
“Setiap ada tempat usaha pembuatan gorong-gorong (cincin sumur), itu pasti orang Aceh,” kata Erwin, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka Tengah, Provinsi Bangka Belitung yang selama pelaksanaan STQN XXII di kabupaten itu, menjadi laition officer (LO) untuk kafilah Aceh pada even nasional dua tahunan tersebut.
Erwin bukan sedang bercanda.
Yang dikatakannya itu benar adanya. Membuat cincin sumur dan menggali sumur adalah pekerjaan spesialis warga Aceh yang merantau ke provinsi kepulauan ini yang merupakan pemekaran dari Provinsi Sumatera Selatan. Pendapatan warga Aceh dari pekerjaan ini juga menjanjikan dan sangat prospektif.
Muna, pengusaha cincin sumur yang berasal dari Pantonlabu, Aceh Utara bercerita panjang lebar soal kiprah warga Aceh dalam bidang membuat cincin sumur dan menggali sumur di daeraah kepulauan ini. Menurut Muna yang sudah 12 tahun lebih tinggal di Pangkal Pinang, saat ini ada sekitar 82 tempat usaha pembuatan cincin sumur di kota itu yang semua pemiliknya adalah orang Aceh.
Ketika ditanya, kenapa hanya orang Aceh yang bekerja di sektor ini, dengan setengah bercanda anak muda Pantonlabu yang bernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia ini berkata, “sampai saat ini kita belum melakukan proses alih teknologi pembuatan cincin dan penggalian sumur kepada masyarakat di sini,” candanya.
Muna juga mengaku, selintas pekerjaaan yang digeluti masyarakat Aceh di Pangkal Pinang terkesan kasar. Tapi, menurutnya, pekerjaan yang dilakukan orang Aceh ini menghasilkan pendapatan yang lumayan serta menyejahterakan mereka.
Muna menjelaskan, satu cincin sumur di Bangka Belitung harganya Rp 50.000 belum termasuk ongkos gali. Ongkos gali sumur untuk satu cincin (setengah meter) harganya Rp 200.000, itu harga normal untuk tanah yang tidak berbatu.
Bila tanahnya berbatu, maka harganya Rp 500.000 per cincin. Kedalaman galian sumur di Bangka Belitung rata-rata antara 15-25 cincin.
“Bila 20 cincin saja satu sumur yang siap sehari, maka kami dapat 4 juta rupiah”, kata Muna dengan wajah sumringah.
Menurut Muna, satu sumur biasanya dikerjakan oleh dua perkerja. Karena prospek sektor pekerjaan ini sangat bagus, menurut Muna, nyaris seluruh perantau Aceh bekerja di bidang ini. Ditambah lagi rata-rata masyarakat di sini takut bekerja di kedalaman sampai 20 cincin sumur. “Ya, ketakutan mereka kita manfaatkan secara ekonomis,” kata Muna sambil tertawa.
Dua ratus lebih orang Aceh di Pangkal Pinang ini bernaung di bawah paguyuban bernama Ikatan masyarakat Aceh Bangka Belitung (Imaba) yang kini dipimpin Tgk Rahmani dan Sekjennya Yusra Jamali.
Semangat dan ikatan kekeluargaan komunitas Imaba sangat baik, termasuk sikap proaktif mereka dalam memfasilitasi kehadiran Kafilah Aceh pada STQN XXII di Bangka Belitung tahun ini.
Sekalipun merupakan daerah yang memiliki potensi alam yang luar biasa, tapi Provinsi Bangka Belitung bukanlah daerah yang maju, termasuk ibu kota provinsinya di Kota Pangkal Pinang. Amatan saya selama berada di Pangkal Pinang adalah soal keanekaragaman kuliner.
Ternyata, peradaban kuliner di kota ini kualitasnya jauh di bawah peradaaban kuliner Aceh, terutama di Kota Banda Aceh. Baik dari sudut estetika (bentuk dan tampilan), cita rasa, serta keanekaragaman.
Sangat sedikit pilihan kuliner di kota ini dan sekitar pukul 23.00 WIB, pedagang tidak lagi berjualan karena sudah tak ada lagi pembeli. Alhasil, Pangkal Pinang pun menjadi kota sepi, tak ubahnya seperti kota tidak bertuan.
Kalau ada anak-anak muda Aceh yang ingin merantau dan membuka tempat usaha di luar Aceh, saya merekomendasikan berhijrahlah ke Bangka Belitung. Sektor kuliner seperti di Aceh sangat menjanjikan untuk dikembangkan di daerah ini. Dari sejumlah pilihan kuliner yang saya coba cicipi, kualitas estetika dan cita rasa kuliner Aceh masih layak jadi juara.
Mi Aceh, martabak, serabi, kopi Aceh serta berbagai makanan jajanaan lain yang ada di Aceh saya yakin akan laris manis jika dijual di Provinsi Bangka Belitung, terutama di Pangkal Pinang dan sejumlah ibu kota kabupaten/kota di provinsi ini.
Di pasar pagi Kota Pangkal Pinang, ada warga Aceh yang menjual mi dan kopi Aceh. Menurut amatan saya selama berada di Pangkal Pinang, kedua jenis kuliner ini sangat disukai warga setempat.
Hanya saja, karena yang menjual dan memasak bukan orang Aceh, maka cita rasa kopi dan mi Aceh itu telah terlalu jauh lari dari “jalan yang benar” jika dibandingkan dengan mi dan kopi yang ada di Aceh. Ayo perantau Aceh, vini, vidi, vici. Datang dan kuasai Bangka Belitung!
Sumber : Serambi Indonesia