Kaisar yang telanjang (The Emperor without Clothes), merupakan dongeng
yang sangat terkenal dari Barat. Dongeng ini mengisahkan seorang raja
yang gemar dengan pakaian yang bagus dan mahal. Suatu ketika dua
penjahit mendatangi kaisar dan mengaku bisa membuat pakaian terbaik dan
termahal. Saking indahnya, pakaian itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang
yang jujur. Pakaian itu nantinya akan dipakai oleh raja dalam suatu
prosesi yang disaksikan oleh penghuni istana dan seluruh rakyatnya.
Setelah pakaian itu selesai dibuat, sang raja pun dengan bersemangat hendak memakainya. Tapi alangkah terkejutnya raja ketika dia tidak bisa melihat pakaian itu. Namun demi citranya, dia pun berpura-pura mengenakan pakaian itu karena tak mau dikatakan tidak jujur.
Lucunya, para penghuni istana, pengawal raja dan masyarakat yang menonton prosesi tersebut juga berpura-pura mengatakan betapa indahnya pakaian raja tersebut. Padahal, mereka sama sekali tidak dapat melihatnya. Hanya ada seorang anak kecil dengan kepolosan dan kejujurannya berkata, “raja telanjang, tidak memakai baju”.
Dongeng itu menggambarkan ketidakjujuran yang ditutupi dengan keberpura-puraan, pencitraan, dan kebohongan. Sang pemimpin membohongi dirinya, rakyatnya, dan bangsanya. Demikian juga para pejabat, berpura-pura demi menjaga posisi dan kepentingannya. Di negeri kita dongeng ini benar-benar sedang terjadi saat ini, bahkan bukan lagi sebuah dongeng.
Raja, penghuni istana dan pendapa, dan para pengawal menggambarkan tiga lembaga negara yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bukan dongeng lagi, ketiga lembaga ini justru dihuni oleh orang-orang yang suka berpura-pura, berbohong, dan mencitrakan diri. Memang tidak semua orang demikian, tetapi istana sistem yang sudah terbangun (sadar atau tidak) memaksa penghuninya untuk sering berbohong.
Lihatlah, para pemimpin lebih sibuk mengeluh dan melakukan pencitraan diri dari pada menepati janji-janjinya. Lebih fokus bersolek dengan kata-kata yang santun agar tetap “cantik” di mata masyarakat. Sehingga wajar beberapa waktu lalu tokoh agama dan LSM mengatakan bahwa rezim saat ini adalah pembohong. Bagaimana tidak, dari sekian banyak janjinya sewaktu kampanye, namun hingga kini belum ditepati.
Dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum syariah misalnya, para pemimpin selalu mengatakan akan selalu berada di barisan terdepan, tidak tebang pilih sekali pun pelakunya berasal dari kader partai politik sendiri, kerabat dekat maupun jajaran pemerintahan. Kenyataannya apa? Masyarakat sudah pasti bisa melihatnya.
Keberpura-puraan dan pencitraan ini pun menjalar hingga kepelosok daerah. Data-data statistik selalu dijadikan pembenaran keberhasilan pemerintah dalam melakukan pembangunan. Misalnya data statistik kemiskinan yang menunjukkan angka kemiskinan terus menerus berkurang. Padahal kita sendiri bisa menyaksikan secara kasat mata dimana pengemis semakin menjamur, semakin banyak pengagguran, semakin banyak anak putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarganya.
Kebohongan juga masuk ke sistem pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran. Kasus contek massal sebagai produk dari kebijakan sesat adalah salah satu contohnya. Pemerintah seolah-olah tidak melihat kecurangan-kecurangan itu demi mendapatkan angka-angka statistik keberhasilan yang palsu serta demi proyek-proyek yang menguntungkan segelintir pihak.
Lembaga legislatif (DPRA/DPRK) yang seharusnya memperjuangkan keadilan bagi rakyat, justru hanya berpura-pura berpihak kepada rakyat. Padahal faktanya, kebanyakan dari mereka fokus memperkaya diri dan kelompoknya. Berpihak dan tunduk kepada kepentingan pengusaha dan petingi-petinggi partainya. Lagian tak ada dari mereka yang benar-benar berasal dari rakyat (buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, dan kaum miskin).
Mayoritas anggota dewan adalah dari pengusaha dan yang ditopang oleh penguasa. Sehingga jabatan politik yang dimiliki adalah untuk kepentingan bisnis. Berpolitik untuk memperkaya diri. Di depan rakyat, mereka berpura-pura memperjuangkan aspirasi rakyat. Tetapi di belakang rakyat, mereka justru mengkhianati rakyat. Uang yang seharusnya untuk rakyat pun, disikat dan dikorupsinya.
Rasanya sudah sangat sulit menemukan kejujuran di negeri ini. Semua telah diwarnai dengan sandiwara yang penuh kebohongan. Yang paling bermasalah adalah ketika kebohongan itu sudah dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja di negeri yang mengaku melaksanakan syariat Islam ini.
Jangan-jangan kita selama ini juga hanya berpura-pura bersyariah demi menutupi kebohongan supaya seolah-olah tetap “bersih” di mata orang lain. Jika benar-benar demikian, sampai kapankah kita terus berpura-pura?
Setelah pakaian itu selesai dibuat, sang raja pun dengan bersemangat hendak memakainya. Tapi alangkah terkejutnya raja ketika dia tidak bisa melihat pakaian itu. Namun demi citranya, dia pun berpura-pura mengenakan pakaian itu karena tak mau dikatakan tidak jujur.
Lucunya, para penghuni istana, pengawal raja dan masyarakat yang menonton prosesi tersebut juga berpura-pura mengatakan betapa indahnya pakaian raja tersebut. Padahal, mereka sama sekali tidak dapat melihatnya. Hanya ada seorang anak kecil dengan kepolosan dan kejujurannya berkata, “raja telanjang, tidak memakai baju”.
Dongeng itu menggambarkan ketidakjujuran yang ditutupi dengan keberpura-puraan, pencitraan, dan kebohongan. Sang pemimpin membohongi dirinya, rakyatnya, dan bangsanya. Demikian juga para pejabat, berpura-pura demi menjaga posisi dan kepentingannya. Di negeri kita dongeng ini benar-benar sedang terjadi saat ini, bahkan bukan lagi sebuah dongeng.
Raja, penghuni istana dan pendapa, dan para pengawal menggambarkan tiga lembaga negara yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bukan dongeng lagi, ketiga lembaga ini justru dihuni oleh orang-orang yang suka berpura-pura, berbohong, dan mencitrakan diri. Memang tidak semua orang demikian, tetapi istana sistem yang sudah terbangun (sadar atau tidak) memaksa penghuninya untuk sering berbohong.
Lihatlah, para pemimpin lebih sibuk mengeluh dan melakukan pencitraan diri dari pada menepati janji-janjinya. Lebih fokus bersolek dengan kata-kata yang santun agar tetap “cantik” di mata masyarakat. Sehingga wajar beberapa waktu lalu tokoh agama dan LSM mengatakan bahwa rezim saat ini adalah pembohong. Bagaimana tidak, dari sekian banyak janjinya sewaktu kampanye, namun hingga kini belum ditepati.
Dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum syariah misalnya, para pemimpin selalu mengatakan akan selalu berada di barisan terdepan, tidak tebang pilih sekali pun pelakunya berasal dari kader partai politik sendiri, kerabat dekat maupun jajaran pemerintahan. Kenyataannya apa? Masyarakat sudah pasti bisa melihatnya.
Keberpura-puraan dan pencitraan ini pun menjalar hingga kepelosok daerah. Data-data statistik selalu dijadikan pembenaran keberhasilan pemerintah dalam melakukan pembangunan. Misalnya data statistik kemiskinan yang menunjukkan angka kemiskinan terus menerus berkurang. Padahal kita sendiri bisa menyaksikan secara kasat mata dimana pengemis semakin menjamur, semakin banyak pengagguran, semakin banyak anak putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarganya.
Kebohongan juga masuk ke sistem pendidikan yang seharusnya mengajarkan kejujuran. Kasus contek massal sebagai produk dari kebijakan sesat adalah salah satu contohnya. Pemerintah seolah-olah tidak melihat kecurangan-kecurangan itu demi mendapatkan angka-angka statistik keberhasilan yang palsu serta demi proyek-proyek yang menguntungkan segelintir pihak.
Lembaga legislatif (DPRA/DPRK) yang seharusnya memperjuangkan keadilan bagi rakyat, justru hanya berpura-pura berpihak kepada rakyat. Padahal faktanya, kebanyakan dari mereka fokus memperkaya diri dan kelompoknya. Berpihak dan tunduk kepada kepentingan pengusaha dan petingi-petinggi partainya. Lagian tak ada dari mereka yang benar-benar berasal dari rakyat (buruh, petani, nelayan, pedagang kecil, dan kaum miskin).
Mayoritas anggota dewan adalah dari pengusaha dan yang ditopang oleh penguasa. Sehingga jabatan politik yang dimiliki adalah untuk kepentingan bisnis. Berpolitik untuk memperkaya diri. Di depan rakyat, mereka berpura-pura memperjuangkan aspirasi rakyat. Tetapi di belakang rakyat, mereka justru mengkhianati rakyat. Uang yang seharusnya untuk rakyat pun, disikat dan dikorupsinya.
Rasanya sudah sangat sulit menemukan kejujuran di negeri ini. Semua telah diwarnai dengan sandiwara yang penuh kebohongan. Yang paling bermasalah adalah ketika kebohongan itu sudah dianggap sebagai hal yang biasa-biasa saja di negeri yang mengaku melaksanakan syariat Islam ini.
Jangan-jangan kita selama ini juga hanya berpura-pura bersyariah demi menutupi kebohongan supaya seolah-olah tetap “bersih” di mata orang lain. Jika benar-benar demikian, sampai kapankah kita terus berpura-pura?
sumber : 91.8 KISS FM Aceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar