Menguak Dinding Kaca antara Para Pejuang Aceh, baik dari Kalangan Bekas
Tentara Gerilya GAM dan Pendukungnya, Ulama, Akademisi, Aktivis,
Seniman, Pengusaha, Mahasiswa dan Pelajar.
"Aceh Darussalam kita bangun dengan persaudaraan di bawah panji Islam, bersatulah, musuh kita hanyalah kafir dari seberang laut."
- Sultan Iskandar Muda (1583-1606 M),
Sultan Aceh Darussalam ke 12
(Memerintah pada 1606 - 1636 M).
Selama beberapa tahun berkomunikasi dengan kalangan aktivis, akademisi, seniman, ulama, pengusaha, dan dunia jurnalistik, saya menemukan beberapa kesenjangan pendapat antara para pejuang intelektual di Aceh. Sepertinya ada dinding kaca kasat mata di antara mereka. Masing-masing mengklaim kelompoknyalah yang benar dan paling berjasa untuk Aceh.
Ini masalah besar yang menyedihkan mengingat betapa banyaknya sudah orang Aceh meninggal dunia dalam proses perjuangan yang dilakukan oleh Aceh. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang kini sayap militernya menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh) berhasil mengawangi perjuangan itu.
Sebagian besar rakyat Aceh membantu perjuangan tersebut, kebanyakan mereka adalah penduduk di perkampungan, hanya beberapa saja dari kota dan dari kalangan intelektual akademik. Tapi, suka atau tidak, ikut atau menjarak, perang tidak memilih korban.
Tampaknya, selain berhasil menggerakkan massa pada rencana referendum tahun 2009, GAM belum bisa menguasai menara gading perguruan tinggi dan kalangan dayah. Saya harus menyebutkan GAM walaupun itu merisihkan beberapa orang karena MoU Helsinki hampir saja menghapuskan sejarah perang gerilya terbesar dan terdahsyat di zaman ini.
Namun tidak ada istilah lain yang cocok untuknya. Lagi pula, mereka kini bukan lagi memperjuangkan agar Aceh memiliki negara sendiri, tapi memperjuangkan agar seluruh isi MoU Helsini dan UUPA berjalan sebagaimana seharusnya.
Kenapa Ada Dinding Kaca?
Sebagai salah seorang mantan anggota Polisi Militer GAM yang kini di dunia kepenulisan, jurnalistik, dan organisasi budaya, saya harus mengatakan dari beberapa sudut pandang. Ini bukan untuk meluruskan pendapat-pendapat yang selama ini punya dinding kaca kasat mata di antara pembentuk arah peradaban saat ini.
Bukan, tidak ada yang bisa meluruskannya. Kita hanya bisa menyingkapkan yang tersembunyi agar semua pihak dan orang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Dinding kaca itu terjadi saat masing-masing pihak mengklaim diri dan kelompoknya yang paling benar.
Golongan pertama adalah orang-orang di menara gading kampus perguruan tinggi, mereka menganggap diri sebagai pemilik kebenaran, pencetak pemimpin dan masa depan. Produk menara gadinglah yang paling banyak menduduki pemerintahan selama puluhan tahun.
Golongan kedua adalah kalangan dayah-dayah, mereka melakukan hal serupa, menganggap diri sebagai pewaris kebenaran dunia dan akhirat dengan menjadi pencetak ulama sebagai pewaris para nabi. Orang orang yang tidak belajar kitab sebagaimana mereka pelajari bukanlah pemilik kebenaran.
Golongan ketiga adalah orang-orang di garis keras Aceh yang juga mengklaim bahwa hanya merekalah yang bertindak di saat penghuni menara gading duduk manis dalam kebasarannya, di saat orang-orang dayah duduk tafakur dengan doa dan nasehatnya. Merekalah yang berperang melawan kezaliman dengan taruhan nyawa mereka sendiri. Orang dayah dan menara gading tidak akan berani melakukannya sehingga bukanlah pemilik kebenaran.
Lalu, golongan manakah yang diikuti oleh masyarakat? Ketiga-tiganya. Masing-masing golongan punya pengikut sendiri, sama banyak, sama kuat.
Selain tiga golongan tadi, ada yang lain, yaitu kelompok pengusaha dan politisi berbasis partai nasional. Mereka tidak tertarik dengan idealisme ketiga golongan tadi, tapi mereka juga punya pengaruh.
Selain dua kelompok terakhir, ada tiga grup sosial lain, yaitu seniman, media dan aktivis. Merekalah yang mampu menembus seluruh dinding. Sayangnya, sebagian besar mereka telah membentuk dunia sendiri yang hampir tidak terjamah. Karya mereka dikenal, tapi sebagian besar dari mereka bahkan hampir tidak mengenal diri sendiri.
Bagaimana dengan kelas sosial seperti kelas bawah, menengah, dan atas di Aceh? Rakyat kebanyakan berada di kelas bawah. Orang-orang dalam fak-fak tadi sebagian besar berada di kelas bawah, sebagian kecil di kelas menengah. Tidak ada kelas atas di Aceh.
Apa Solusinya?
Apa solusinya agar Aceh bisa bangkit dalam bidang agama, ekonomi, kebudayaan, politik, dan intelektual? Para pakar lebih tahu tentang ini. Walau begitu, saya serukan kepada semua kalangan tadi supaya mereka membuat sebuah pertemuan secara sukarela untuk bermufakat dan berjalan seiring membangun Aceh.
Semua berjasa untuk Aceh. Pihak yang satu harus mengakui dan menghargai pihak lain. Itu yang kami rakyat butuhkan. Hiduplah dengan jiwa besar wahai para pemimpin dan guru kami. Mantan kombatan harus menghargai orang di menara gading dan di dayah-dayah bahwa mereka juga memperjuangkan Aceh dengan cara mereka sendiri.
Orang menara gading harus menghargai pejuang garis keras dan kalangan dayah bahwa mereka juga memiliki pengetahuan dan jasa untuk Aceh. Orang-orang dari dayah harus memahami dan menghargai penghuni menara gading dan orang di garis keras bahwa mereka telah memperjuangkan kebenaran dengan cara sendiri.
Dengan adanya keseimbangan dan persatuan kepentingan ini, barulah rakyat bisa menghormati lagi ulama, ilmuan, dan pemimpin di Aceh. Ini hanya dapat dilakukan dalam sebuah konferensi berkala secara khusus, bukan dari warung kopi ke warung kopi.
Pertanyaannya, pihak mana yang berjiwa besar untuk memulai mengundang beberapa pihak lain secara menyeluruh dan serentak ke dalam sebuah pertemuan besar dan berkala?
Apakah pihak mantan kombatan yang memulai, atau pihak dayah, atau pihak menara gading? Konferensi itu juga perlu menghadirkan pengusaha, seniman, orang media, dan aktivis. Siapa yang memulai merekalah yang berjiwa besar dan memenangkan kebijaksaaan di mata rakyat dan Tuhan. Satu kata keramat, Cintai Aceh.
Thayeb Loh Angen, Aktivis di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT), Kepala Ma’had Baitul Maqdis (Sekolah -Sastra-Sejarah-Jurnalisti k-Komunikasi-Kepemimpinan- Hamzah Fansuri), wartawan, bekas anggota Polisi Militer GAM.
sumber: peradabandunia Atjehnish Service History For Generation Jumat, 26 April 2013 | 01.16
Thayeb Loh Angen, 2006. Foto: Lodins.
"Aceh Darussalam kita bangun dengan persaudaraan di bawah panji Islam, bersatulah, musuh kita hanyalah kafir dari seberang laut."
- Sultan Iskandar Muda (1583-1606 M),
Sultan Aceh Darussalam ke 12
(Memerintah pada 1606 - 1636 M).
Selama beberapa tahun berkomunikasi dengan kalangan aktivis, akademisi, seniman, ulama, pengusaha, dan dunia jurnalistik, saya menemukan beberapa kesenjangan pendapat antara para pejuang intelektual di Aceh. Sepertinya ada dinding kaca kasat mata di antara mereka. Masing-masing mengklaim kelompoknyalah yang benar dan paling berjasa untuk Aceh.
Ini masalah besar yang menyedihkan mengingat betapa banyaknya sudah orang Aceh meninggal dunia dalam proses perjuangan yang dilakukan oleh Aceh. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang kini sayap militernya menjadi KPA (Komite Peralihan Aceh) berhasil mengawangi perjuangan itu.
Sebagian besar rakyat Aceh membantu perjuangan tersebut, kebanyakan mereka adalah penduduk di perkampungan, hanya beberapa saja dari kota dan dari kalangan intelektual akademik. Tapi, suka atau tidak, ikut atau menjarak, perang tidak memilih korban.
Tampaknya, selain berhasil menggerakkan massa pada rencana referendum tahun 2009, GAM belum bisa menguasai menara gading perguruan tinggi dan kalangan dayah. Saya harus menyebutkan GAM walaupun itu merisihkan beberapa orang karena MoU Helsinki hampir saja menghapuskan sejarah perang gerilya terbesar dan terdahsyat di zaman ini.
Namun tidak ada istilah lain yang cocok untuknya. Lagi pula, mereka kini bukan lagi memperjuangkan agar Aceh memiliki negara sendiri, tapi memperjuangkan agar seluruh isi MoU Helsini dan UUPA berjalan sebagaimana seharusnya.
Kenapa Ada Dinding Kaca?
Sebagai salah seorang mantan anggota Polisi Militer GAM yang kini di dunia kepenulisan, jurnalistik, dan organisasi budaya, saya harus mengatakan dari beberapa sudut pandang. Ini bukan untuk meluruskan pendapat-pendapat yang selama ini punya dinding kaca kasat mata di antara pembentuk arah peradaban saat ini.
Bukan, tidak ada yang bisa meluruskannya. Kita hanya bisa menyingkapkan yang tersembunyi agar semua pihak dan orang mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Dinding kaca itu terjadi saat masing-masing pihak mengklaim diri dan kelompoknya yang paling benar.
Golongan pertama adalah orang-orang di menara gading kampus perguruan tinggi, mereka menganggap diri sebagai pemilik kebenaran, pencetak pemimpin dan masa depan. Produk menara gadinglah yang paling banyak menduduki pemerintahan selama puluhan tahun.
Golongan kedua adalah kalangan dayah-dayah, mereka melakukan hal serupa, menganggap diri sebagai pewaris kebenaran dunia dan akhirat dengan menjadi pencetak ulama sebagai pewaris para nabi. Orang orang yang tidak belajar kitab sebagaimana mereka pelajari bukanlah pemilik kebenaran.
Golongan ketiga adalah orang-orang di garis keras Aceh yang juga mengklaim bahwa hanya merekalah yang bertindak di saat penghuni menara gading duduk manis dalam kebasarannya, di saat orang-orang dayah duduk tafakur dengan doa dan nasehatnya. Merekalah yang berperang melawan kezaliman dengan taruhan nyawa mereka sendiri. Orang dayah dan menara gading tidak akan berani melakukannya sehingga bukanlah pemilik kebenaran.
Lalu, golongan manakah yang diikuti oleh masyarakat? Ketiga-tiganya. Masing-masing golongan punya pengikut sendiri, sama banyak, sama kuat.
Selain tiga golongan tadi, ada yang lain, yaitu kelompok pengusaha dan politisi berbasis partai nasional. Mereka tidak tertarik dengan idealisme ketiga golongan tadi, tapi mereka juga punya pengaruh.
Selain dua kelompok terakhir, ada tiga grup sosial lain, yaitu seniman, media dan aktivis. Merekalah yang mampu menembus seluruh dinding. Sayangnya, sebagian besar mereka telah membentuk dunia sendiri yang hampir tidak terjamah. Karya mereka dikenal, tapi sebagian besar dari mereka bahkan hampir tidak mengenal diri sendiri.
Bagaimana dengan kelas sosial seperti kelas bawah, menengah, dan atas di Aceh? Rakyat kebanyakan berada di kelas bawah. Orang-orang dalam fak-fak tadi sebagian besar berada di kelas bawah, sebagian kecil di kelas menengah. Tidak ada kelas atas di Aceh.
Apa Solusinya?
Apa solusinya agar Aceh bisa bangkit dalam bidang agama, ekonomi, kebudayaan, politik, dan intelektual? Para pakar lebih tahu tentang ini. Walau begitu, saya serukan kepada semua kalangan tadi supaya mereka membuat sebuah pertemuan secara sukarela untuk bermufakat dan berjalan seiring membangun Aceh.
Semua berjasa untuk Aceh. Pihak yang satu harus mengakui dan menghargai pihak lain. Itu yang kami rakyat butuhkan. Hiduplah dengan jiwa besar wahai para pemimpin dan guru kami. Mantan kombatan harus menghargai orang di menara gading dan di dayah-dayah bahwa mereka juga memperjuangkan Aceh dengan cara mereka sendiri.
Orang menara gading harus menghargai pejuang garis keras dan kalangan dayah bahwa mereka juga memiliki pengetahuan dan jasa untuk Aceh. Orang-orang dari dayah harus memahami dan menghargai penghuni menara gading dan orang di garis keras bahwa mereka telah memperjuangkan kebenaran dengan cara sendiri.
Dengan adanya keseimbangan dan persatuan kepentingan ini, barulah rakyat bisa menghormati lagi ulama, ilmuan, dan pemimpin di Aceh. Ini hanya dapat dilakukan dalam sebuah konferensi berkala secara khusus, bukan dari warung kopi ke warung kopi.
Pertanyaannya, pihak mana yang berjiwa besar untuk memulai mengundang beberapa pihak lain secara menyeluruh dan serentak ke dalam sebuah pertemuan besar dan berkala?
Apakah pihak mantan kombatan yang memulai, atau pihak dayah, atau pihak menara gading? Konferensi itu juga perlu menghadirkan pengusaha, seniman, orang media, dan aktivis. Siapa yang memulai merekalah yang berjiwa besar dan memenangkan kebijaksaaan di mata rakyat dan Tuhan. Satu kata keramat, Cintai Aceh.
Thayeb Loh Angen, Aktivis di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT), Kepala Ma’had Baitul Maqdis (Sekolah -Sastra-Sejarah-Jurnalisti
sumber: peradabandunia Atjehnish Service History For Generation Jumat, 26 April 2013 | 01.16
Thayeb Loh Angen, 2006. Foto: Lodins.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar