Oleh: Jarjani Usman, Pemerhati Masalah Aceh, tinggal di Melbourne, Australia. Email: jarjani@gmail.com
PENYELESAIAN kasus bendera Aceh kini bagaikan penyelesaian permainan catur skak dengan beberapa ‘buah’ yang tersisa. Tersisa raja, perdana menteri, dan beberapa pion. Sehingga lapangan hitam putih yang luas memudahkan menggeser raja kesana kemari. Sedangkan pion-pion menunggu dipromosi.
Sebagaimana diketahui, upaya penyelesaian kasus bendera Bintang Bulan pun sudah “digerakkan” di sejumlah tempat. Pernah dilakukan di Jakarta, Batam, Makassar, dan kota-kota lain. Dilibatkan tokoh-tokoh penting dalam penyelesaiannya. Waktu, pikiran, dan dana telah banyak dihabiskan. Namun hingga saat ini, belum jelas hasil akhirnya.
Yang sudah jelas untuk sementara: Jangan kibarkan bendera bulan bintang walau pada tanggal 15 Agustus meskipun untuk memperingati MoU di Helsinki. Ini perintah dari Gubernur, yang selama ini menjadi pihak yang selalu terlibat langsung, juga ditambah dengan ancaman dari pihak keamanan bila mengibarkannya. Keputusan ini membuat (sebagian) rakyat yang sedang menanti untuk mengibarkannya dengan luapan perasaan, terpaksa harus mengurungkan niat.
Belum bisa disinari
Melihat berlarutnya kasus tersebut, tampaknya ‘jam waktu’ yang sebelumnya sengaja diset sudah tidak lagi digunakan. Akibatnya, beberapa momentum penting dan bersejarah, seperti tanggal 15 Agustus (HUT MoU Helsinki), 17 Agustus (HUT Kemerdekaan RI), atau 4 Desember (Milad GAM), belum bisa disinari ‘Bintang Bulan’.
Meskipun tidak lagi menggunakan jam waktu, waktu bekerja yang tersedia untuk Pemerintahan Zikir akan tetap terkuras banyak. Karena itu, menghabiskan terlalu banyak untuk ini tentunya bukan tindakan yang bijak. Itulah sebabnya perlu menghemat waktu untuk memikirkan apakah ‘permainannya’ akan checkmate atau tetap stalemate.
Sebagaimana dalam permainan skak, penyelesaian kasus bendera Aceh juga sepertinya sedang mengarah kepada dua keadaan ini. Dalam permainan catur skak, penyelesaiannya bisa dalam bentuk checkmate atau stalemate. Checkmate yaitu skak mati terhadap salah satu pihak, sedangkan stalemate berarti menemui jalan buntu. Masih untung dalam permainan skak karena jalan buntu berarti remis, sehingga kedua pihak berbagi angka kemenangan seperti win-win solution. Namun dalam konflik bisa tidak bermakna demikian, tetapi malah semakin membesar, lama, dan rumit.
Namun kalau membuka kembali lembaran sejarah hubungan Aceh-Pemerintah Pusat, checkmate dan stalemate (atau remis atau win-win solution) pernah terjadi. Dalam MoU Helsinki, misalnya, ada yang bilang itu terjadi ‘remis’ atau berbagi poin. Bisa juga disebut win-win solution. Ada juga yang menginterpretasikannya sebagai checkmate terhadap Aceh atau GAM khususnya. Alasannya, berhasil dirubah tujuan dari keinginan merdeka ke otonomi khusus. Sedangkan dalam perjanjian antara Presiden Soekarno dengan Abu Daud Beureueh bisa dikatakan checkmate. Tapi apakah dalam kasus bendera kali ini bisa diupayakan lebih dari itu?
Dalam filosofi permainan catur skak, maka di saat tak memungkinkan menyelesaikannya, maka perlu segera dibuat keputusan yang saling menguntungkan. Yaitu remis. Bagi kasus Bendera Aceh juga agaknya penting diupayakan remis agar sisa tenaga dan waktu bisa digunakan mempromosi ‘pion-pion’. Kalau tidak, akan mengganggu imej kinerja Pemerintah Zikir, yang selanjutnya bisa saja berekses terhadap suasana pemilu tahun depan sekaligus terhadap tingkat kesejahteran rakyat.
Namun prosesnya perlu dilaksanakan dengan sangat bijak dan hati-hati, karena sangat beresiko tinggi. Lebih-lebih sebahagian orang dari kedua belah pihak telah menggunakan kata-kata yang kesannya tak memberi ruang sedikitpun selain opsi yang diset sebelumnya. Bukan hanya beresiko di tingkat para atasan, tetapi juga di level masyarakat grassroot di Aceh khususnya. Apalagi kondisi masyarakat sepertinya sudah bagaikan jerami kering yang mudah terbakar bila dipantik api.
Menghadapi situasi seperti ini, Pemerintah sepantasnya tidak gegabah, tetapi bukan berarti perlu melambat-lambatkan. Perlu diingat kata-kata orang-orang tua tempo dulu di Aceh: “Ubee ok irang, ubee blang irot.” Secara sederhana bisa dimaknakan bahwa (ada perbuatan) yang bila sedikit salah diambil keputusan, akan menimbulkan kehancuran banyak.
Sambil menunggu tindakan yang akan diambil, saya berpikir kasus ini mungkin akan lain ceritanya bila terlebih dahulu digunakan pendekatan ideologis untuk memenangkan hati rakyat banyak. Bila berhasil, lazimnya rakyat akan sukarela berpihak serasa demikianlah sewajarnya. Sehingga saat bernegosiasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah memiliki nilai tawar dan dukungan yang tinggi.
Ideologi keberpihakan
Menanamkan ideologi keberpihakan bisa dilakukan, misalnya, lewat perantaraan bahasa. Hollindale (1988) dan Stephens (1992) menyatakan bahwa suatu ideologi bersemayam dalam bahasa yang dipakai seseorang. Pakar bahasa Eagleton menyebutkan, bahasa adalah kekuatan, pertentangan, dan pergulatan. Bahasa bisa berfungsi sebagai senjata atau penengah, sebagai racun atau obat, dan sebagai penjara atau jalan keluar. Karena itu, bahasa-bahasa yang digunakan (terutama oleh kalangan tokoh masyarakat) harus merebut hati (semua) rakyat, tidak bersifat memecah belah.
Tak cukup dengan bahasa, juga perlu memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk kebutuhan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam bersaing secara sehat. ‘Memberi’ memiliki kekuatan tersendiri, walaupun sebenarnya itu hak mereka. Seperti hak mendapatkan pembangunan yang merata. Hal ini bisa difahami dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah.
Yang telah dilakukan selama ini mungkin dirasakan lumayan oleh ‘pihak atas’ atau sebahagian rakyat bawah, tetapi dirasakan kurang oleh pihak bawah lain seperti yang di Barat Selatan, dan Tengah. Kalau memang sudah dilakukan pembangunan yang adil dan merata selama ini, penting dipublikasikan secara luas agar tidak saling curiga sekaligus demi transparansi.
Berkaitan dengan pandangan ini, Bourdieu (1991) berargumen bahwa memberi bisa bermakna mengutangi. Mengutangi sama halnya dengan menawan (hatinya) untuk memihak si pemberi, sehingga memudahkan dalam memobilisasi dan mengelolanya.
Terlepas dari keputusan itu, kita berharap semoga pemerintah dikaruniai kesabaran yang tinggi dalam menyelesaikannya dengan bijak dan cepat. Sehingga masyarakat Aceh bisa hidup damai dan sejahtera di jalan yang diridhai Allah Swt.
PENYELESAIAN kasus bendera Aceh kini bagaikan penyelesaian permainan catur skak dengan beberapa ‘buah’ yang tersisa. Tersisa raja, perdana menteri, dan beberapa pion. Sehingga lapangan hitam putih yang luas memudahkan menggeser raja kesana kemari. Sedangkan pion-pion menunggu dipromosi.
Sebagaimana diketahui, upaya penyelesaian kasus bendera Bintang Bulan pun sudah “digerakkan” di sejumlah tempat. Pernah dilakukan di Jakarta, Batam, Makassar, dan kota-kota lain. Dilibatkan tokoh-tokoh penting dalam penyelesaiannya. Waktu, pikiran, dan dana telah banyak dihabiskan. Namun hingga saat ini, belum jelas hasil akhirnya.
Yang sudah jelas untuk sementara: Jangan kibarkan bendera bulan bintang walau pada tanggal 15 Agustus meskipun untuk memperingati MoU di Helsinki. Ini perintah dari Gubernur, yang selama ini menjadi pihak yang selalu terlibat langsung, juga ditambah dengan ancaman dari pihak keamanan bila mengibarkannya. Keputusan ini membuat (sebagian) rakyat yang sedang menanti untuk mengibarkannya dengan luapan perasaan, terpaksa harus mengurungkan niat.
Belum bisa disinari
Melihat berlarutnya kasus tersebut, tampaknya ‘jam waktu’ yang sebelumnya sengaja diset sudah tidak lagi digunakan. Akibatnya, beberapa momentum penting dan bersejarah, seperti tanggal 15 Agustus (HUT MoU Helsinki), 17 Agustus (HUT Kemerdekaan RI), atau 4 Desember (Milad GAM), belum bisa disinari ‘Bintang Bulan’.
Meskipun tidak lagi menggunakan jam waktu, waktu bekerja yang tersedia untuk Pemerintahan Zikir akan tetap terkuras banyak. Karena itu, menghabiskan terlalu banyak untuk ini tentunya bukan tindakan yang bijak. Itulah sebabnya perlu menghemat waktu untuk memikirkan apakah ‘permainannya’ akan checkmate atau tetap stalemate.
Sebagaimana dalam permainan skak, penyelesaian kasus bendera Aceh juga sepertinya sedang mengarah kepada dua keadaan ini. Dalam permainan catur skak, penyelesaiannya bisa dalam bentuk checkmate atau stalemate. Checkmate yaitu skak mati terhadap salah satu pihak, sedangkan stalemate berarti menemui jalan buntu. Masih untung dalam permainan skak karena jalan buntu berarti remis, sehingga kedua pihak berbagi angka kemenangan seperti win-win solution. Namun dalam konflik bisa tidak bermakna demikian, tetapi malah semakin membesar, lama, dan rumit.
Namun kalau membuka kembali lembaran sejarah hubungan Aceh-Pemerintah Pusat, checkmate dan stalemate (atau remis atau win-win solution) pernah terjadi. Dalam MoU Helsinki, misalnya, ada yang bilang itu terjadi ‘remis’ atau berbagi poin. Bisa juga disebut win-win solution. Ada juga yang menginterpretasikannya sebagai checkmate terhadap Aceh atau GAM khususnya. Alasannya, berhasil dirubah tujuan dari keinginan merdeka ke otonomi khusus. Sedangkan dalam perjanjian antara Presiden Soekarno dengan Abu Daud Beureueh bisa dikatakan checkmate. Tapi apakah dalam kasus bendera kali ini bisa diupayakan lebih dari itu?
Dalam filosofi permainan catur skak, maka di saat tak memungkinkan menyelesaikannya, maka perlu segera dibuat keputusan yang saling menguntungkan. Yaitu remis. Bagi kasus Bendera Aceh juga agaknya penting diupayakan remis agar sisa tenaga dan waktu bisa digunakan mempromosi ‘pion-pion’. Kalau tidak, akan mengganggu imej kinerja Pemerintah Zikir, yang selanjutnya bisa saja berekses terhadap suasana pemilu tahun depan sekaligus terhadap tingkat kesejahteran rakyat.
Namun prosesnya perlu dilaksanakan dengan sangat bijak dan hati-hati, karena sangat beresiko tinggi. Lebih-lebih sebahagian orang dari kedua belah pihak telah menggunakan kata-kata yang kesannya tak memberi ruang sedikitpun selain opsi yang diset sebelumnya. Bukan hanya beresiko di tingkat para atasan, tetapi juga di level masyarakat grassroot di Aceh khususnya. Apalagi kondisi masyarakat sepertinya sudah bagaikan jerami kering yang mudah terbakar bila dipantik api.
Menghadapi situasi seperti ini, Pemerintah sepantasnya tidak gegabah, tetapi bukan berarti perlu melambat-lambatkan. Perlu diingat kata-kata orang-orang tua tempo dulu di Aceh: “Ubee ok irang, ubee blang irot.” Secara sederhana bisa dimaknakan bahwa (ada perbuatan) yang bila sedikit salah diambil keputusan, akan menimbulkan kehancuran banyak.
Sambil menunggu tindakan yang akan diambil, saya berpikir kasus ini mungkin akan lain ceritanya bila terlebih dahulu digunakan pendekatan ideologis untuk memenangkan hati rakyat banyak. Bila berhasil, lazimnya rakyat akan sukarela berpihak serasa demikianlah sewajarnya. Sehingga saat bernegosiasi dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah memiliki nilai tawar dan dukungan yang tinggi.
Ideologi keberpihakan
Menanamkan ideologi keberpihakan bisa dilakukan, misalnya, lewat perantaraan bahasa. Hollindale (1988) dan Stephens (1992) menyatakan bahwa suatu ideologi bersemayam dalam bahasa yang dipakai seseorang. Pakar bahasa Eagleton menyebutkan, bahasa adalah kekuatan, pertentangan, dan pergulatan. Bahasa bisa berfungsi sebagai senjata atau penengah, sebagai racun atau obat, dan sebagai penjara atau jalan keluar. Karena itu, bahasa-bahasa yang digunakan (terutama oleh kalangan tokoh masyarakat) harus merebut hati (semua) rakyat, tidak bersifat memecah belah.
Tak cukup dengan bahasa, juga perlu memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk kebutuhan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam bersaing secara sehat. ‘Memberi’ memiliki kekuatan tersendiri, walaupun sebenarnya itu hak mereka. Seperti hak mendapatkan pembangunan yang merata. Hal ini bisa difahami dari bawah ke atas, bukan dari atas ke bawah.
Yang telah dilakukan selama ini mungkin dirasakan lumayan oleh ‘pihak atas’ atau sebahagian rakyat bawah, tetapi dirasakan kurang oleh pihak bawah lain seperti yang di Barat Selatan, dan Tengah. Kalau memang sudah dilakukan pembangunan yang adil dan merata selama ini, penting dipublikasikan secara luas agar tidak saling curiga sekaligus demi transparansi.
Berkaitan dengan pandangan ini, Bourdieu (1991) berargumen bahwa memberi bisa bermakna mengutangi. Mengutangi sama halnya dengan menawan (hatinya) untuk memihak si pemberi, sehingga memudahkan dalam memobilisasi dan mengelolanya.
Terlepas dari keputusan itu, kita berharap semoga pemerintah dikaruniai kesabaran yang tinggi dalam menyelesaikannya dengan bijak dan cepat. Sehingga masyarakat Aceh bisa hidup damai dan sejahtera di jalan yang diridhai Allah Swt.
sumber : ACEH RECONSTRUCTED AND AT PEACE